KABUPATEN SUMEDANG, POTENSINETWORK.COM – Dinamika zaman terus bergerak maju, santri memiliki peran sentral sebagai garda terdepan penjaga nilai agama dan budaya bangsa, tidak lagi cukup hanya dengan bekal ilmu agama semata. Tokoh Pemuda dan Bangsawan Sunda, Dian Rahadian, menyampaikan hal tersebut dalam acara akbar Hajat Santri Nusantara, Sabtu, 22 Februari 2025, di Pondok Pesantren Al-Yakin, Dusun Babakanmulya, Desa Gunungmanik, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang.
Menurut Dian Rahadian, santri masa kini perlu mempersiapkan diri menjadi social engineering—agen perubahan sosial yang mampu membangun masyarakat sejalan dengan nilai agama dan kemajuan zaman. “Sinergikan aktivitas santri dengan mahasiswa dan libatkan alumni perguruan tinggi dalam proses belajar. Ini bukan sekadar menambah wawasan, tetapi memperluas ruang berpikir santri dalam menghadapi tantangan dunia modern,” tegasnya.
Berbagai bentuk pemikiran mencuat terutama mengenai kecenderungan akan munculnya toxic religiosity. Mengantisipasi hal ini, sejak dini perlu kiranya ada langkah bagaimana meminimalisasi keburukan. Toxic religiosity berpotensi mengarah kepada radikalisme religius.
Toxic religiosity merupakan pola berpikir sempit yang dapat menimbulkan ekstremisme ketika ilmu agama tidak diimbangi dengan pemahaman disiplin ilmu lain. Dian Rahadian mengingatkan bahwa memeluk agama bukan sekadar soal pengakuan, tetapi tentang pemahaman mendalam yang membentuk karakter dan memperkaya wawasan.
“Ketika santri hanya dijejali doktrin tanpa ruang berpikir kritis, potensi lahirnya pribadi yang kaku bahkan radikal bukan hal mustahil. Oleh karena itu, santri harus dibekali kemampuan berpikir lintas disiplin ilmu agar memiliki pandangan yang lebih holistik dalam menjalankan nilai agama,” jelasnya.
Penyerahan anugerah Kujang oleh Kawargian Abah Alam, Ramanda Adhitiya Alam Syah (meengenakan “Mahkuta Sunda” warna hitam) kepada Pimpinan Pondok Pesantren Al Yakin, KH. Hasan Basri RF. (mengenakan peci putih memegang reflika kujang) pada acara Hajat Santri Nusantara di Pondok Pesantren Al-Yakin, Sumedang. Turut mendampingi pengaugerahan Kujang, Pembina Kemahasiswaan Universitas Al-Ghifari, Muhammad Anang Munawir (paling kiri) dan Ketua Umum Alam Jabar, Ipang Gajayana Mahardika (mengenakan peci dan baju hitam). Hajat Santri Nusantra sebagai bentuk rasa syukur terhadap peran santri yang mengawal laju kembangnya peradaban bangsa hingga saat ini.(Foto: potensinetwork.com/Aprianto)
Tantangan Teknologi AI dan Big Data di Tengah Santri
Di era kemajuan teknologi, terutama dengan hadirnya Artificial Intelligence (AI) dan Big Data, tantangan yang dihadapi santri semakin kompleks. Teknologi kini mampu menciptakan figur, narasi, bahkan opini publik yang dapat membentuk persepsi sosial secara masif. Tidak sedikit individu yang tiba-tiba dikenal sebagai “tokoh agama” hanya karena kemampuan memanfaatkan algoritma dan kecanggihan AI.
“Santri harus sadar bahwa teknologi modern bisa menjadi alat yang membangun atau merusak. AI, misalnya, dapat menciptakan tokoh fiktif dengan pengaruh besar di masyarakat. Ini menjadi ancaman serius jika generasi muda tidak dibekali kemampuan untuk memahami dan mengendalikan teknologi,” ujar Dian.
Big Data memungkinkan penyebaran informasi dalam skala luas dan cepat. Namun, tanpa literasi digital yang kuat, santri dapat terjebak dalam arus informasi palsu atau manipulatif. Jika tidak memiliki filter berpikir kritis, santri bisa menjadi korban propaganda digital atau bahkan menjadi pelaku penyebaran hoaks.
Di tengah gempuran teknologi, pesantren masih menjadi ruang sosial nyata yang tidak tergantikan. Interaksi langsung antar santri membentuk karakter dan nilai kebersamaan kuat. Dian Rahadian menekankan pentingnya memperluas jejaring sosial santri, bahkan hingga merambah kelompok lintas iman, guna memperkokoh nilai kebangsaan.
“Perbanyak santri bergaul dengan berbagai jejaring lintas iman. Inilah fondasi utama dalam membangun rasa cinta tanah air dan memperkuat nilai kebangsaan. Jangan sampai santri terjebak dalam pemikiran eksklusif yang justru menjauhkan mereka dari misi besar menjaga keutuhan bangsa,” pesannya.
Lebih dari sekadar ruang belajar agama, pesantren seharusnya menjadi pusat pengembangan karakter dan kecerdasan sosial. Dengan memperluas pergaulan lintas iman dan komunitas, santri tidak hanya belajar tentang toleransi tetapi juga memperkuat semangat persatuan dan cinta tanah air.
Demikian pula halnya, bahwa santri tidak cukup hanya menjadi penjaga moralitas, tetapi juga harus menjadi penggerak perubahan sosial. Mereka harus mampu menavigasi tantangan global, seperti perkembangan teknologi dan perubahan sosial, tanpa kehilangan identitas dan nilai luhur agama.
Pesan yang disampaikan Dian Rahadian dalam Hajat Santri Nusantara menjadi pengingat bahwa pesantren tidak boleh tertinggal dalam arus kemajuan zaman. Dengan bekal ilmu agama yang kokoh, ditopang literasi digital dan keterampilan sosial, santri masa kini berpeluang besar menjadi social engineering yang mampu menghadirkan solusi atas berbagai tantangan bangsa.
“Santri harus siap menjadi pemimpin masa depan yang mampu merangkul berbagai elemen masyarakat dan memperkuat nilai kebangsaan. Mereka bukan hanya penjaga tradisi, tetapi agen perubahan yang siap membawa Indonesia menuju kemajuan,” tutup Dian Rahadian.
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi, harapan besar tertuju pada santri untuk menjadi pelita di tengah kegelapan informasi dan penjaga nilai luhur di era digital ini. Santri bukan sekadar pelajar agama, mereka adalah penjaga masa depan bangsa. (Teguh Ari Prianto/Tim)