Mieling 128 Tahun Mei Kartawinata dan Refleksi Kebangsaan di Era AI: Saatnya Generasi Muda Menegakkan Nilai Keluhuran Bangsa dan Menjadi Relevan terhadap Zaman!

Mieling
Bangsawa Ajidipa, Dian Rahadian (Foto dalam foto: Mei Kartawinata). (Foto: potensinetwork.com/A. Prianto)

KABUPATEN BANDUNG, POTENSINETWORK.COM– Dalam narasi kebangsaan yang kerap terjebak pada romantisme masa lalu, muncul sosok Bangsawan Ajidipa, Dian Rahadian sebagai pengingat pentingnya mieling—sebuah laku menggali ke dalam, mengoreksi warisan yang belum sempurna dari para pendahulu, sekaligus menyadari tanggung jawab yang belum tertunaikan oleh generasi penerus. Mieling bukan sekadar nostalgia, melainkan refleksi aktif yang menuntut keberanian untuk berubah dan memperbaiki.

Dian Rahadian menyampaikan hal tersebut dalam Malam Peringatan Hari Kelahiran Bapak Mei Kartawinata, Rabu, 30 April 2025 di Area Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih dan Pasarean Bapak Mei Kartawinata, Kampung Karang Pawitan RT 01/15 Desa Pakutandang Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.

Memperingati Hari Kelahiran Bapak Mei Kartawinata tahun ini yaitu masuk pada urutan waktu ke 128 tahun. Hal ini merupakan momentum penting bagi keluarga, kerabat, murid-murid, dan para pihak dengan kenangannya tersendiri terhadap ketokohan Bapak Mei Kartawinata.

Peringatan Hari Kelahiran ini atau publik menyebutnya “Pangeling-Ngeling Kalahiran Anu ka-128 Taun (1897-2025)”, menghidupkan semangat baru perubahan dalam tatanan kebangsaan bersumber dari pemikiran besar sang Tokoh Mei Kartawinata, sebagai berikut yaitu, bahwa “Mei teh pangeling-ngeling, Tanggal bulan kalahiran Ari tugas anu tangtos Nyaeta karta winata Ngartakeun ku winata Nepikeun ka hasil maksud Hasil tina perjalanan” (dalam terjemahan bebas: Mei adalah pengingat. Tanggal dan bulan kelahiran. Sementara tugas yang pasti adalah “Karta Winata”, menerjemahkan dan menyampaikan hasil perjalanan kepada Winata sehingga mencapai tujuan yang diinginkan)

Baca Juga:  Pertemuan Kerwapa dan Fraksi tak Bahas Penundaan, Revitalisasi Berjalan sesuai Aturan

Dian Rahadian meneruskan pemikirannya, bahwa kini, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan tak lagi sekadar soal ideologi atau geopolitik, melainkan berkaitan erat dengan loncatan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) dan transformasi digital. Dunia telah berubah secara radikal.

“Namun dalam keributan ini, penting ditegaskan: bukan pendidikan yang salah, melainkan cara kita menyesuaikan ajaran, aturan, dan jajaran yang masih stagnan di tengah perubahan zaman.” Kata Dian Rahadian.

Dalam menata ulang kehidupan kebangsaan, kata Dian Rahadian, ada tiga hal pokok yang harus segera dievaluasi dan diperbaiki. Pertama adalah ajaran, yakni nilai-nilai dasar ditanamkan kepada generasi muda. Apakah masih relevan dengan realitas zaman? Kedua, aturan, yaitu sistem dan kebijakan yang mengatur kehidupan bermasyarakat. Apakah memberi ruang inovasi atau justru membelenggu kemajuan? Ketiga, adalah jajaran, yaitu struktur kelembagaan dan para pengemban tugas publik. Apakah mereka benar-benar hadir sebagai pelayan masyarakat atau sekadar pewaris kekuasaan?

Mengenai koreksi terhadap ajaran, aturan, dan jajaran tidak berarti menyangkal masa lalu, tetapi justru menghidupkan kembali semangat para pendiri bangsa: berani merumuskan hal baru yang sesuai konteks, tanpa kehilangan akar nilai.

Pemikiran sekaligus suatu ajakan untuk tidak terjebak dalam kejumudan, namun juga tidak silau oleh kebaruan. Di tengah dunia serba canggih, Indonesia membutuhkan generasi yang mampu mieling, menggali ke dalam, lalu melangkah keluar dengan gagah dan membawa bangsa ini tetap kokoh di era kecerdasan buatan dan perubahan global.

Baca Juga:  Tim Pemenangan Rakyat Ganjar-Mahfud Tingkat RT Kampanyekan Saatnya Orang Baik Pilih Orang Baik di Kab Bandung, Ganjar-Mahfud Rekam Jejaknya Paling Baik


Karya besar pemikiran Tokoh Mei Kartawinata dalam hal kebangsaan yaitu Pancasila. (Foto: potensinetwork.com/istimewa)

Riwayat Tokoh

Berdasar sumber-sumber referensi primer dari pihak keluarga dan literasi beredar luas, potensinetwork.com merangkum sejumlah informasi mengenai ketokohan Mei Kartawinata. Beliau lahir pada 1 Mei 1897 dari ayahanda RD. Kartowidjojo yang berasal dari Rembang, silsilah Majapahit-Brawijaya, dan ibunda RD. Mariah yang merupakan keturunan dari Bogor, garis keturunan Padjadjaran-Siliwangi.

Sejak usia belia, beliau telah menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap dunia spiritual dan keilmuan batin. Puncak perjalanannya dalam menekuni ilmu kebatinan tercapai pada 17 September 1927, saat ia menerima pencerahan batiniah (wangsit) di Subang–Purwakarta. Pengalaman itu berawal dari pandangan tertuju pada aliran Sungai Cileuleuy di Kampung Cimerta, memunculkan kekaguman dan diikuti oleh suara batin tentang makna perjalanan air dan peran pentingnya bagi kehidupan sebelum kembali ke asalnya, yaitu samudra.

Awal Kiprah Spiritual dan Nasionalisme

Sejak peristiwa spiritual tersebut, pemahaman dan ajaran leluhur yang diperolehnya mulai ia sebarkan kepada masyarakat. Ia mengangkat nilai-nilai kebangsaan dan semangat perjuangan melalui pendekatan spiritual dan penyembuhan, serta menerangi batin masyarakat dengan ilmu-ilmu gaib yang ia miliki.

Pada masa itu, bangsa Indonesia masih berada dalam belenggu penjajahan. Maka, pemikiran Mei Kartawinata tidak hanya menyentuh ranah spiritual, tetapi juga menyalakan api patriotisme yang tersembunyi dalam jiwa rakyat.

Mei Kartawinata termasuk tokoh pribumi berani dan vokal menyuarakan cita-cita kemerdekaan. Dengan caranya yang khas, ia menularkan semangat perjuangan melalui ajaran leluhur yang diselaraskan dengan nilai kebangsaan.

Baca Juga:  PWI Kabupaten Bandung Gaet Kesbangpol Gelar Sosialisasi Pilkada 2024

Semangat ini lambat laun menyebar ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemikiran yang ia bawa dinilai berbahaya oleh pemerintah kolonial karena mampu menggugah kesadaran rakyat. Oleh sebab itu, pihak penjajah berupaya membungkamnya dengan menahan beliau berkali-kali, di antaranya pada tahun 1937, 1942, 1946, dan 1949.

Selama masa-masa penahanan yang berlangsung di berbagai tempat seperti Lapas Cigereleng, Banceuy, Sukamiskin, hingga ke penjara di Cirebon, Yogyakarta, dan Glodok–Jakarta, beliau tetap gigih dalam memperjuangkan pemikiran kebangsaan. Menurut sejumlah sumber sejarah, dalam kurun waktu tersebut, ia kerap berkomunikasi dengan Bung Karno. Pertemuan mereka difokuskan pada diskusi mengenai nilai-nilai kebangsaan dan pemikiran konseptual tentang dasar negara yang kelak menjadi fondasi ideologis Indonesia merdeka. (Teguh Ari Prianto)


Dian Rahadian (kiri) berbicara dalam acara peringatan Mieling 128 Tahun Mei Kartawinata. (Foto: potensinetwork.com/Istimewa)