Gubernur KDM, STOP Bawa Anak Nakal ke Barak Militer!

Barak
Dosen FH Unpad, Pegiat Pendidikan Fitrah, Anggota Majelis PAUDASMEN PWA Jawa Barat, Rachminawati. (Foto: potensinetwork.com/Istimewa)

Oleh: Rachminawati

Pro Kontra Kebijakan Bawa Anak Nakal ke Barak Militer

POTENSINETWORK.COM– Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau Kang Dedi Mulyadi (KDM), saat ini memiliki program membawa anak-anak “nakal” ke barak militer menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, banyak pihak khawatir metode ini bisa memperparah trauma anak dan memunculkan stigma negative serta melanggar HAM. Di sisi lain, tak sedikit berbagai pihak menilai, bahwa hal ini sebagai terobosan untuk mengatasi kenakalan remaja yang tak kunjung tuntas melalui sistem pendidikan formal atau sistem yang selama ini ada.

Namun, di balik kontroversi itu, kita justru melihat sinyal perubahan penting, bahwa ada pemimpin daerah berani mencari cara baru dan berani mengeksekusi ide berbeda, bukan hanya mengeluh. Itulah mengapa, terlepas dari berbagai catatan dan tantangan, pendekatan KDM patut diapresiasi dan dikawal agar tidak hanya jadi sensasi sesaat, tapi benar-benar jadi solusi mendalam, bermakna, dan manusiawi.

Barak Militer untuk Anak: Ide Brilian atau Ide Berbahaya?

Gagasan KDM bukan sekadar soal membawa anak ke barak militer untuk “dihukum”. Justru sebaliknya, barak digunakan sebagai ruang pembinaan, pemulihan dan penguatan karakter. Dalam beberapa video beredar, KDM secara langsung berinteraksi dengan anak-anak yang dianggap bermasalah, bukan dengan marah-marah atau intimidasi, tetapi dengan gaya komunikasi setara, menggali kesadaran dan membangun refleksi diri anak-anak. Inilah kunci utama yang membuat program ini istimewa, bukan sekadar menggertak, tetapi mengajak anak berpikir dan mengenali kesalahannya sendiri.

Ini berbeda dari pendekatan otoriter yang selama ini hanya membuat anak takut, tapi tidak mengubah perilakunya secara sadar. Nahasnya, terkadang pendekatan otoriter ini malah dilakukan di sekolah atau rumah.

Pendekatan KDM sesungguhnya adalah Pendekatan Pendidikan Fitrah. “Butuh Orang sekampung (Se-Jawa Barat) untuk Mendidik Satu Orang Anak”, ya, butuh orang Se-Jawa Barat dan hal ini baru bisa dilakukan di bawah kepemimpinan Gubernur KDM. Pendidikan fitrah percaya bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan baik—membawa potensi fitrah keimanan, potensi bakat, potensi berpikir, rasa ingin tahu, dan dorongan untuk menjadi pribadi yang baik dan bermanfaat. Namun fitrah itu bisa tercederai oleh lingkungan yang salah: keluarga yang tidak hadir, sistem pendidikan yang salah kaprah, dan masyarakat yang hanya bisa menghakimi tanpa ada rasa kepedulian.

Dengan mengajak anak-anak kembali ke barak militer, KDM sebenarnya sedang mencoba menarik kembali fitrah mereka yang terluka. Di sana, anak-anak diajak berbicara dari hati ke hati, didorong untuk berpikir tentang masa depan mereka, dan dirangsang kembali kesadaran imannya karena sesungguhnya anak-anak yang dibawa ke Barak itu mereka sudah mampu berpikir dan bernalar. Gaya komunikasi KDM yang egaliter dan dialogis juga menjadi kekuatan tersendiri. Ia tidak memperlakukan anak sebagai objek rusak, tapi sebagai calon orang dewasa yang punya potensi luar biasa. Dalam suasana penuh ketegasan namun tetap hangat, anak-anak mampu jujur dengan dirinya, lalu akhirnya mampu kembali sadar akan potensinya. Fitrah keimanan anak mulai tumbuh kembali. Ketika fitrah keimanan tumbuh, maka fitrah-fitrah lain seperti bakat dan kepemimpinan akan menyusul, meski mungkin agak terlambat.

Baca Juga:  Pendidikan Bermakna sesuai Fitrah, Hak Anak, dan Masa Depan Garut di Hardiknas 2025

Lebih dari itu, yang sedang ditarik bukan hanya fitrah anak-anak, tetapi juga fitrah orang tua dan fitrah komunal masyarakat kita. Sebagaimana disampaikan sebelumnya “butuh orang sekampung untuk mendidik seorang anak”. Fitrah kebersamaan dan tanggung jawab kolektif yang selama ini terkikis di negeri kita, mulai dibangkitkan kembali melalui program KDM ini.

Mendidik anak bukan hanya tugas orang tua dan guru saja, tetapi tugas seluruh ekosistem sosial: tetangga, tokoh masyarakat, pemerintah lokal, bahkan aparat penegak hukum, semua harus terlibat dan sadar akan peranannya. Ini betul-betul ide Brilian KDM! Ide yang bukan hanya memikirkan solusi, tapi juga memulihkan jati diri pendidikan kita!

Tak Hanya Anak yang Perlu Dididik

Salah satu kekeliruan besar dalam memahami istilah “anak nakal” adalah kecenderungan menyederhanakan masalah, seolah-olah yang rusak hanyalah si anak, dan yang perlu diperbaiki pun hanya perilakunya. Dalam pendekatan pendidikan fitrah, kerusakan perilaku anak justru sering merupakan cerminan dari kerusakan sistem pengasuhan di rumah, metode pembelajaran di sekolah, serta minimnya sensitivitas masyarakat sekitar. Orang tua memiliki peran sentral dalam hal ini, namun banyak yang belum memahami pentingnya tahapan usia dan fitrah anak.

Di usia 0–7 tahun, anak berada pada masa cinta dan bermain, anak adalah ratu dan raja, orangtua adalah pelayan, pelindung utama, dan penasihat raja/ ratu sehingga di usia ini anak tidak bisa diceramahi apalagi dihukum. Memasuki usia 7–10 tahun, anak seharusnya diberikan ruang untuk menumbuhkan adab dan eksplorasi aktif, bukan malah ditekan dengan standar prestasi dewasa. Lalu di usia 10–14 tahun, saatnya anak menumbuhkan logika berpikirnya, bakatnya, tanggung jawabnya, dan peran sosialnya di masyarakat secara langsung. Sayangnya kebanyakan anak justru sering diperlakukan seperti balita di usia ini. Ketidaksesuaian pengasuhan ini membuat fitrah anak tidak tumbuh secara utuh, dan akhirnya menyimpang.

Baca Juga:  Ribuan Buruh Menangis, Pemerintah Harus Bertindak: Solusi Bersama untuk Perlindungan Hak Buruh di Garut

Pola pengasuhan pendidikan fitrah tidak dibangun di atas tekanan, kontrol, atau ketakutan, melainkan pada keteladanan, ruang eksplorasi, dan pendampingan tumbuhnya potensi unik setiap anak. Orang tua dan guru semestinya menjadi penuntun, bukan penguasa yang hanya menuntut.

Orangtua dan guru selayaknya seperti petani yang menumbuhkan, bukan pemahat yang membentuk. Mereka perlu menyediakan suasana yang ramah dan penuh kasih, bukan lingkungan yang justru menambah luka batin anak. Sayangnya, sistem pendidikan kita pun kadang tak membantu. Guru sering dijebak dalam peran sebagai “algojo akademik”, yang hanya menilai anak dari angka dan rapor, bukan dari karakter dan fitrah kemanusiaannya.

Selain keluarga dan sekolah, masyarakat pun punya peran besar dalam membentuk ekosistem pendidikan sehat. Ironisnya, masyarakat kerap menjadi hakim tercepat ketika ada anak berperilaku menyimpang.

Alih-alih memberikan ruang pemulihan, mereka menyebar stigma dan mempermalukan anak dan keluarganya. Dalam konteks ini, tokoh agama, aparat desa, guru ngaji, karang taruna, hingga media lokal, seharusnya berperan sebagai bagian dari sistem pendukung yang menyembuhkan bukan menghakimi.

Anak-anak tidak hanya butuh ruang untuk belajar di kelas tetapi ruang belajar yang lebih luas, juga ruang untuk pulih. Pemulihan itu hanya mungkin jika orang tua, guru, dan masyarakat sama-sama mengambil tanggung jawab.

Pesan Cinta untuk KDM

Pesan cinta ini sesungguhnya adalah “catatan dan tantangan agar ide KDM ini efektif”. Jika pendekatan inovatif KDM ini benar-benar berdampak positif dan tidak menimbulkan efek samping baru, maka ada sejumlah catatan penting harus menjadi perhatian semua pihak.

Pertama-tama, barak militer yang dijadikan ruang pemulihan ini tidak boleh berubah wajah menjadi tempat hukuman. Harus ada penegasan sejak awal bahwa pendekatan militer di sini bukan identik dengan kekerasan fisik atau verbal, melainkan dengan kedisiplinan yang menguatkan karakter melalui perbaikan fitrah anak. Konsep militer bukan untuk menakut-nakuti anak, melainkan sebagai sarana menguatkan struktur jiwa dan tubuh mereka yang selama ini mungkin rapuh akibat luka pengasuhan dan lingkungan.

Selain itu, pendampingan psikologis yang profesional sangat krusial. Anak-anak yang masuk dalam program ini bisa jadi membawa trauma masa kecil yang dalam dan kompleks. Jika tidak ditangani dengan pendekatan psikososial yang memadai, ada risiko trauma mereka malah diperparah oleh suasana baru asing.

Oleh karena itu, keterlibatan psikolog, konselor, dan mentor dengan sensitivitas tinggi harus menjadi bagian inti, bukan tambahan pelengkap. Harus ada pendampingan lebih personal oleh professional termasuk pendampingan medis jika diperlukan.

Baca Juga:  Ketika Mesin Mengambil alih: Masihkah ada Tempat Bagi Integritas ASN dalam Pelayanan Publik Modern?

Pendampingan ini pun perlu diperluas kepada orang tua dan guru, karena jika anak kembali ke rumah atau sekolah yang tidak berubah, pemulihan yang sudah dicapai bisa kembali runtuh. Pola pikir dan cara mendidik orang tua, guru, serta lingkungan terdekat harus dibenahi secara paralel. Pendidikan fitrah menjadi sebuah keharusan untuk diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak.

Program ini juga harus dilandasi oleh sistem evaluasi menyeluruh dan transparan. Setiap perkembangan anak perlu dicatat dengan jujur, dan pelibatan masyarakat sipil, psikolog, pegiat pendidikan, serta pemimpin lokal akan memperkuat kontrol publik atas proses ini. Hal ini penting untuk mencegah penyimpangan sekaligus membangun kepercayaan masyarakat.

Terakhir, narasi publik juga memegang peran strategis. Jangan biarkan media hanya menyoroti sisi sensasional seperti “anak nakal dibawa ke barak”—tanpa memahami secara utuh konsep KDM soal ini. Masyarakat perlu juga untuk memahami esensi fitrah, pemulihan, dan cinta yang menjadi inti gagasan ini. Narasi harus membangun semangat kolektif bahwa kita sedang menghidupkan kembali fitrah bangsa ini yang dimulai dari tatar SUNDA, dimulai dari menyembuhkan satu anak dalam satu ekosistem yang sadar, peduli, dan tumbuh bersama.

STOP Bawa Anak “Nakal” ke Barak Militer jika Semua Anak di Jawa Barat Sudah Jadi Anak Hebat!

Gagasan KDM membawa anak-anak dianggap bermasalah ke barak militer bukanlah solusi tunggal. Langkah ini bisa menjadi bagian penting dari pemulihan jika dijalankan dengan pendekatan fitrah, pendekatan tanpa kekerasan, dengan dukungan profesional, dan melibatkan seluruh ekosistem pendidikan. Barak bukan tempat hukuman, tetapi ruang penyembuhan: tempat fitrah anak ditarik kembali yang akan menumbuhkan segala potensi kebaikan anak.

Namun, anak tak bisa dibebani sendiri. Tanpa perubahan dari orang tua, guru, dan lingkungan sekitar, pemulihan itu tak akan utuh.

Sudah waktunya kita berhenti menyalahkan anak terus-menerus. Mari kembali ke fitrah sebagai pendidik sejati—yang hadir bukan dengan amarah, tapi dengan cinta dan keteladanan.

Kang Dedi, “Bapa Aing”, STOP Bawa Anak “Nakal” ke Barak Militer Jika Semua Anak di Jawa Barat Sudah Jadi Anak Hebat! Tapi selama barak menjadi ladang fitrah, bukan ladang trauma, maka program ini layak dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

Penulis:
Rachminawati (Dosen FH Unpad, Pegiat Pendidikan Fitrah, Anggota Majelis PAUDASMEN PWA Jawa Barat. Alamat email: rachminawati@unpad.ac.id)