News  

Tradisi dan Toleransi Dua Kutub yang Mudah Dibenturkan

Agenda tersebut, sekaligus sebagai bentuk pelaksanaan dari Saptawikrama (Tujuh Kebijaksanaan Kebudayaan ) Lesbumi yang ketiga, yaitu membangun wacana independen dalam memaknai kearifan lokal dan budaya islam Nusantara, secara ontologis dan epistimologis keilmuan.

“Di NU dikenal sebuah prinsip atau bisa juga disebut pedoman yang berbunyi Al-Muhafazhoh ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Memelihara Tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik),” paparnya.

Gelar Ruwatan tersebut, kata dia, berhubungan dengan prinsip tersebut, karena ritual ruwatan termasuk tradisi lama yang nilai-nilainya bisa diterapkan di masa sekarang.

Baca Juga:  Pemerintah Berencana Canangkan 2022 Tahun Toleransi, Menag Sowan ke PB NU

Bahkan ungkapnya, nilai-nilai tersebut salah satu faktor penguat bagi generasi sekarang, dalam membangun negeri dengan didasari semangat kearifal lokal.

‘Seperti semboyan negeri ini, Kita berbeda-beda tapi satu tujuan, Bhineka Tunggal Ika.” Kemudian apa yang salah dari ritual masyarakat adat itu, sehingga seringkali berimbas pada laku intoleransi?” tuturnya.

“Kami mengajak seluruh masyarakat serta pihak yang peduli terhadap khazanah Budaya Nusantara, untuk bersama-sama membuka ruang-menghimpun dan bergerak dengan menghadirkan kembali nilai-nilai budaya Nusantara yang hampir tergerus oleh praktek intoleransi dan sisi negatif arus globalisasi.” pungkasnya.***