“Selama kedelai ini masih diserahkan ke mekanisme pasar, maka tidak akan pernah berhenti kondisi seperti ini. Jadi seperti siklus yang sering terjadi dan berkepanjangan,” tambahnya.
Jadi, berapapun harganya tapi jika stabil maka tidak akan jadi masalah bagi produsen tahu tempe.
“Misalnya kita usaha hari ini, ketika kita jual itu hasilnya untuk membeli kedelai kadang-kadang minus, bahkan hanya bisa cukup kembali modal saja, jadi tidak dikunci harganya,” katanya.
Berdasarkan informasi dari Dirjen Kemendag, kata Ghufron, stock kedelai saat ini hanya untuk dua bulan dan harganya naik.
Alasannya, karena harga minyak dunia, panen di Amerika kurang begitu surplus, selain itu juga ada trouble pada pengemasan di Amerika.
Jadi, lanjutnya, ada masalah teknis yang merugikan importir sehingga lambat datang ke Indonesia.
“Ketika harga ini tidak diatur oleh pasar dan digelontorkan sebagaimana mestinya, ini kemungkinan akan rawan, dua bulan kemudian itu ada kekosongan beberapa hari, kuotanya itu sudah dibaca,” ungkap Ghufron.
Disinggung mengenai program swasembada kedelai, menurut Ghufron, itu nonsense. Selalu digembar-gemborkan swasembada kedelai, tapi ketika panen raya ternyata nol alias tidak ada barang.
“Kita tidak berbicara antara swasembada atau impor ya, karena kita sebagai pengrajin, terlepas dari impor ataupun swasembada kita hanya membutuhkan ketersediaan kedelai yang menjamin kebutuhan,” pungkasnya.***




