Artinya, pesantren sangat peduli terhadap kehidupan berkesenian di ranah Sunda.
Kiyai-kiyai tempo dulu bahkan sangat mahir memainkan gerakan penca silat, mahir dalam melantunkan tembang pupuh, juga mumpuni merangkai serta mengarang kalimah unik untuk sebuah puisi atau nadhoman, dan bisa dipastikan bahwa mereka selalu menghasilkan dan meninggalkan karya tulis yang turun temurun dipakai oleh khalayak, semisal nadhoman dan dangdingan.
Dekatnya keberadaan pesantren dan kebudayaan sempat dibawa ke ranah simposium di antaranya di pesantren Al-Wasilah Garut, yang secara umum menyimpulkan bahwa sesungguhnya pesantren dan budaya itu tidaklah bermusuhan atau tidak ada “pateungteungan”.
Tentang ada selentingan yang menyebutkan bahwa sebagian kiyai mengharamkan sejumlah kesenian.
Hal ini tergantung kepada eksistensi sang Kiyainya itu sendiri.
Dalam hal ini diperlukan sinergi antara ajengan/kiyai dan budayawan, agar terlihat lebih elok dan indah di lingkungan kehidupan pesantren-pesantren kita.***