Menurut ketua Foreign Policy Community of Indonesia itu, jika pemerintah ingin serius terlibat sebagai juru damai kedua belah pihak, harus ada tindak lanjutnya. Sebab proses damai memerlukan waktu yang panjang, bukan dalam satu kunjungan.
Dino berpendapat, tetap perlu ditunjuk satu utusan khusus yang bisa fokus menindak lanjuti agenda presiden dalam kunjungan ke Rusia dan Ukraina jika upaya ini akan diteruskan. Selain itu, perlu juga menjalin komunikasi dengan pihak lain di dunia internasional yang ikut terlibat dalam misi damai ini.
Dalam pernyataan terpisah, pakar hubungan internasional Andrew Mantong dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga mengatakan, konsistensi menjadi hal penting jika Indonesia ingin berperan untuk mendamaikan kedua negara yang berselisih.
“Poinnya tidak hanya menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina, tetapi juga menjembatani komunikasi dengan negara-negara lainnya, khususnya negara G7,” katanya dalam CSIS Media Briefing di Jakarta, Jumat.
Sementara, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai positif tawaran Indonesia untuk menjembatani komunikasi antara Rusia dan Ukraina. Namun, hal ini akan sulit untuk direalisasikan karena posisi Jokowi sendiri yang masih menjabat sebagai kepala negara dan pemerintahan. “Tentunya Presiden Jokowi tidak bisa secara intens untuk melakukan hal tersebut,” katanya.
Rusia menyerang Ukraina sejak 24 Februari 2022. Peperangan di bulan kelima saat ini fokus di Donbas, timur Ukraina. PBB menyebutkan ada setidaknya 4.700 warga sipil tewas sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari. Jutaan warga sipil mengungsi keluar dari Ukraina akibat agresi ini.
Kremlin berulang kali membantah menargetkan wilayah sipil. Moskow beberapa kali juga menyatakan operasi militer terpaksa harus dilancarkan demi demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.***