Pasalnya, lanjut dia, banyak informasi palsu di media sosial yang berpotensi mengganggu kerukunan masyarakat.
Berbagai hoaks dan disinformasi yang beredar di media sosial kerap berbalut dengan isu SARA (suku agama ras dan antargolongan), dan ini dapat memicu konflik di masyarakat.
Wibowo mencontohkan salah satu hoaks yang pernah beredar di Sri Lanka, pada Maret 2018. Saat itu, Sri Langka sampai menutup facebook dan whatsapp karena terjadi kerusuhan antaragama yang diakibatkan oleh berita bohong.
“Hoaks yang beredar saat itu, kaum minoritas muslim dituduh edarkan obat yang bisa membuat mayoritas muda mandul Itu dipercaya publik sehingga membuat kerusuhan dan kacau sampai akhirnya whatsapp dan facebook di sana ditutup,” jelasnya.
Hoaks lainnya antara lain yang menimpa Kementerian Agama. Misalnya, hoaks bahwa dana haji habis karena digunakan untuk membiayai proyek Ibukota Nusantara (IKN). “Yang seperti ini harus bisa segera direspons penggerak MB. Sebab, disinformasi juga bisa memicu tindakan ekstrem yang tidak sejalan dengan semangat moderasi beragama,” tutur Wibowo.
Karena itu, lanjut Wibowo, upaya penguatan moderasi beragama tidak bisa hanya dilakukan dengan cara-cara konvensional tatap muka, tapi juga memanfaatkan teknologi informasi.
Menurutnya, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi mewariskan disrupsi informasi. Dunia digital telah menyajikan narasi keagamaan yang bebas akses dan kerapkali dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyuburkan konflik dan menghidupkan politik identitas.