“Ngempur Layung di Dusun Linuhung”

Menelusuri lembar perlembar novel klasik karya Kang Emha cetakan ketiga terbitan Mujahid Press setelah Geger Lumayung dan Mangsa Bulan Warna Peteng, penerbitnya sendiri berkilah bahwa pada edisi novel klasiknya, penulis menampilkan beda karakter bahkan lebih lugas serta alur cerita cinta yang sangat pelik, dan berujung bukan happy ending.

Pembaca justru diberi suguhan mengambang, bagaimana nasib Si Tokoh selanjutnya.

Kata penulisnya, yang disampaikan oleh kata pengantar penerbitnya bahwa cerminan serta contoh tauladan di dalamnya sejatinya menjadi pelajaran yang berharga.

Baca Juga:  Menapaki Jejak Zaman, Nusantara Harus Membayar Mahal untuk Memahami Kembali Nilai-Nilai Luhur Adat Budaya Miliknya Sendiri

Sebagaimana alur sinopsis yang tertera di cover belakang perihah tiga tokoh utama alias pemegang lakonnya.

…. Pandara, sosok remaja yang tidak menyadari betapa luka-liku hidupnya hanyut dalam gunjang-ganjing kekuasaan.

Sementara Utari dan Ayundari harus menerima kenyataan bahwa takdir tidak selamanya berpihak.

Bahkan bagi Aundari yang teramat sangat berharap cinta Pandara harus merelakan nyawanya tercerabut oleh keganasan keris andalan orang yang menikahinya.

Utari dan Pandara harus kembali kepada langkah awal yang menggiring mereka tiba di zona penting perebutan kekuasaan dan Pandara harus kehilangan belahan jiwa untuk kemudian menyeret dirinya pulang ke tanah kelahiran menanggalkan pakaian kependekaran.

Baca Juga:  Guru Madrasah Raih Penghargaan dari KPK, Berdedikasi dalam Gerakan Antikorupsi