Lulus dengan predikat cumlaude pada 1994, Oman mulai berkenalan dengan manuskrip. Berkolaborasi dengan Chambert-Loir, ia menghasilkan karya pertamanya, berjudul “Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia se-Dunia” (Jakarta: EFEO-YOI, 1999).
Ini adalah buku babon semacam “mbahnya katalog manuskrip” yang menjadi kajian utama para pengkaji manuskrip Nusantara di seluruh dunia.
Ia mengembara ke kantong-kantong manuskrip seperti di Minangkabau, Aceh, dan Jawa Barat. Bermodal beasiswa dari the Ford Foundation, pada 2003 Oman berhasil meraih gelar doktornya di kampus yang sama.
Disertasinya terbit dengan judul “Tarekat Syatariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks” (Jakarta: EFEO-Prenada, 2008).
Oman hafal Alfiyah—kitab karya Ibnu Malik berisi seribu bait gramatikal Arab tingkat tinggi—dan menguasai naskah kuno dalam empat bahasa: Arab, Melayu, Jawa, dan Sunda.
Kemampuan itu mengantarkannya sebagai penerima fellowship dari the Alexander von Humboldt-Stiftung, Jerman, untuk melakukan riset di Cologne University.
Selama dua tahun (2006-2008) Oman bersama keluarga tinggal di Bonn, Jerman.
Selain itu, ia menjadi narasumber di Prancis, Belanda, Mesir, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain.
Di PPIM pula, Oman turut mengelola jurnal bereputasi internasional Q1 Studia Islamika. Oman memanfatkan media sosial dan kanal digital untuk memperkenalkan manuskrip ke publik melalui program Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara).