Ia mengatakan kanker serviks secara umum menyerang wanita berusia 30-39 tahun. Gejala terjadinya kanker serviks adalah pendarahan pasca berhubungan suami istri, keputihan berbau, vagina mengeluarkan darah secara terus-menerus tanpa berhenti, nyeri pada kemaluan dilaporkan sebagai gejala awal terjadinya kanker serviks.
“Faktor resiko terjadi kanker antara lain infeksi papilloma virus (HPV) dengan onkogen E6 dan E7 serta faktor lainnya seperti paparan zat mutagen adalah faktor hormonal, merokok, berganti-ganti pasangan seksual, kontrasepsi, infeksi human papilloma virus, diet, riwayat dan terapi obat-obatan,” jelasnya.

Disebutkan Emma Dety, tingginya kejadian kanker serviks disebabkan kurangnya pencegahan pada wanita usia subur dan kurangnya minat deteksi dini.
“Karena deteksi dini kanker serviks masih tabu di masyarakat. Akibatnya, kanker serviks baru terdeteksi pada stadium lanjut, karena ini sering disebut silent killer,” ungkapnya.
Ia mengatakan kanker serviks menempati peringkat terbanyak kedua dalam kasus pada wanita. “Yang mana ada dua pilar pencegahan kanker serviks, yaitu pencegahan secara primer dengan adanya imunisasi vaksin HPV dan juga dengan pencegahan sekunder dengan deteksi dini kanker serviks,” tuturnya.
Kata Emma Dety, banyaknya kasus kanker serviks di Indonesia semakin diperparah disebabkan lebih dari 75 persen kasus yang datang ke rumah sakit berada pada stadium lanjut.
“Penyebab utama diduga adanya infeksi oleh HPV serta keterlambatan diagnosa pada stadium lanjut. Status ekonomi yang rendah dan keterbatasan sumber daya alam,” katanya.
Pada saat yang sama, imbuh dia, kanker serviks mulai menurun di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan kesadaran dalam melakukan deteksi dini seperti pap smear. Sehingga jika mengetahui adanya kanker bisa menentukan pilihan pengobatan yang tepat sehingga bisa mengurangi angka kematian.
“Strategi penanggulangan kanker dilaksanakan dengan pendekatan 4 pilar yaitu promosi kesehatan, deteksi dini, perlindungan spesifik dan tatalaksana sesuai standar,” katanya.