POTENSINETWORK.COM– Studi dalam bidang Hubungan Internasional yang saya ikuti beberapa waktu lalu, menautkan saya kepada beberapa bidang kajian menarik yaitu studi tentang kawasan. Sebut saja bahwa dalam studi kawasan tersebut fokus utama pengkaji kepada soal kawasan mencakup isu-isu penting kawasan pada belahan kawasan Timur Tengah, Asia Timur, Eropa, dan Amerika serta Amerika Latin. Dari “menerawang” keberadaan kawasan itu hingga bagaimana menarik simpulan realitas politiknya bahkan mengenal gestur pola pengambilan kebijakan politik, meniscayakan pikiran ini terus mengawang-awang.
Ada keasyikan tersendiri saya dengan suasana itu dan studi pun terus mengalir. Berbagai metodologi pembelajaran menjadi instrumen untuk memahami rupa-rupa dinamika kawasan. Utak-atik agar pikiran sampai pada suatu pemahaman. Saat waktu berlalu, sampai saatnya tiba pada suatu ingatan tentang Sunda. Berbagai referensi yang pernah saya temui, banyak bahasan Sunda berkaitan pengaruhnya terhadap kawasan-kawasan di dunia. Ini membuat saya kagum.
Namun, saat menarik kembali kepada korelasi studi kawasan dalam lingkup Hubungan Internasional, nyaris tidak ada kata Sunda dalam pengaruhnya di dunia. Studi seperti mendapat pembatasan, sementara batas waktu dan tempat penggalian materi tidak terbatas. Sekali lagi, tidak ada menyebut apa itu Sunda. Ini paradok!
Begitu pun saat mengambil studi lain masih dalam lingkup Hubungan Internasional, yaitu studi tentang Dinamika Sosial Politik Lokal, sejumlah fenomena budaya dalam dinamika sosial politiknya, tertera contoh-contoh suku bangsa di Nusantara, seperti Batak, Padang, dan lain-lain. Menyebut dua suku bangsa terakhir, keberadaannya termasuk memiliki corak budaya kuat. Batak salah satu di antaranya memiliki representasi adat dengan adanya “Dalihan Natolu” yang terbukukan.
Beberapa saat kemudian, saya berusaha meraih pemahaman tentang Sunda, nyaris kristalisasi Sunda sulit mewujudkannya. Saya bertanya, ini fenomena apa? Paradok Sunda dalam lingkup lokal, senantiasa terjadi lagi. Ruang kajian pada lingkup pendidikan terdekat dengan keseharian, luput membahas tentang Sunda.
Karena berangkat dari pintu masuk pendidikan, ada suatu pahaman bahwa jalur pendidikan bagaimana pun juga kental dengan nuansa “politis”. Kecenderungan keberpihakan kepada penguasa, itu seolah mutlak. Melalui pendidikan, sejarah tertulis bagi kepanjangan tangan kepentingan orang-orang kuat (history).
Sampai pada titik ini, saya terus bertanya, mencari jejak pemahaman tentang Sunda, itu harus kemana, sebab narasi-narasi besar tentang Sunda melalui pendidikan itu ternegasikan. Semakin nampak jurang pemisah bangsa pewarisnya dengan realitas Sunda unggul. Ataukah mungkin dunia takut dengan kebangkitannya? Generasi penerus pun menjadi malu menyelami Sunda? Entah bagaimana dari sudut pandang disiplin lain. Sampai pada isi pikiran ini, saya melihat Sunda semakin menggeliat di luar dunia formalistik.
Namun, saya tetap memiliki pandangan positif tentang Sunda di masa depan. Dengan semakin banyaknya generasi muda yang peduli dengan budaya dan sejarah Sunda, saya yakin bahwa Sunda akan kembali menjadi kekuatan yang signifikan dalam kancah internasional. Melalui pendidikan yang lebih inklusif dan kesadaran akan pentingnya budaya, Sunda dapat memperkuat identitasnya dan berkontribusi pada keberagaman budaya global. Mungkin suatu hari nanti, Sunda akan menjadi simbol kebangkitan dan kekuatan budaya yang menginspirasi dunia.
Saya percaya, generasi penerus Sunda saat ini tidak akan lagi terjebak dalam paradok tersebut. Mereka telah menyadari pentingnya mempertahankan identitas budaya dan sejarah Sunda. Dengan semangat dan kesadaran tersebut, mereka akan menjadi agen perubahan yang memperkuat keberadaan Sunda di kancah nasional dan internasional.
Kebangkitan besar Sunda sudah di ambang pintu. Generasi muda Sunda siap memelopori perubahan dan memperkuat keberadaan budaya Sunda. Mereka tidak akan lagi membiarkan sejarah dan budaya Sunda terlupakan. Melainkan, mereka akan menjadi penggerak utama kebangkitan Sunda yang akan menginspirasi dan membangkitkan kesadaran akan pentingnya mempertahankan identitas budaya. (Teguh Ari Prianto)