Konsep dan NIlai Luhur Sunda Penopang Kehidupan Utuh Manusia

luhur
Peserta diskursus atau kajian kebudayaan bertajuk “Next Gen Collaboration” foto bersama usai acara. (Foto: potensinetwork.com/Istimewa)

KOTA BANDUNG, POTENSINETWORK.COM– Yayasan Wangi Gema Indonesia kembali melaksanakan diskursus atau kajian kebudayaan bertajuk “Next Gen Collaboration” Jumat, 27 Desember 2024. Event tersebut sebagai bentuk kemitraan yayasan dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat.

Acara berlangsung di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bandung. GIM sebagai gedung bersejarah era revolusi kemerdekaan Indonesia, mampu membangkitkan semangat juang baru peserta kajian pada sore hari itu.

Sang Kreator Acara, Dang Gun Gun Suyansyah, mengemas kajian pada sore hari itu dalam bentuk saresehan. Sejumlah peserta hadir dengan memosisikan diri secara bersama-sama sebagai pemberi gagasan diskusi dan berpendapat yang mengarah kepada tema kajian yaitu “Konsep dan nilai terkandung dalam pemahaman tentang Sunda”.

Kajian berlangsung menarik dan terhimpun sejumlah pemikiran tentang kebudayaan sesuai tema acara, bersember dari para peserta pada sore hari itu. Tentunya, gagasan dan pendapat para peserta menjadi masukan berharga terhadap sumbangsih pemajuan kebudayaan khususnya Kebudayaan Sunda untuk saat ini dan masa-masa mendatang.

Ungkapan-ungkapan gagasan mulai dari Pengamat Kebudayaan Sunda, Dadang Syarifudin, mengulas tentang eksistensi Bangsa Sunda setidaknya sejak awal Masehi hingga berlangsungnya hitungan waktu milenium ke dua. Nilai-nilai kesundaan begitu terpelihara, bahkan mampu mencapai puncak kemajuannya pada abad XV Masehi bersamaan dengan hadirnya sosok-sosok manusia unggul sebagai pemimpin pada masa itu.

Eksistensi Sunda semacam itu, ungkap Dadan Syarifudin, sangat terpaut dengan keberadaan nilai-nilai luhur Sunda sebagai sebuah bangsa besar dan memiliki daya survival tinggi hingga saat ini. Meski demikian, pada era milenium ke tiga berikutnya, nilai-nilai itu kemudian mengalami kemunduran hingga terjadi degradasai sehingga menimbulkan dampak signiikan dalam pembangunan kebudayaan era modern.

Sunda, menurut Dadan Syarifudin, tumbuh besar karena tertopang oleh corak budaya luhur dengan dasar konsep berupa “atikan” dan “anggitan”. Pengertian dari kedua istilah itu masing-masing merujuk kepada konsep etika, pendidikan, dan estetika.

Selanjutnya, sambung Dadan Syarifudin, ketetapan aturan berlaku dan berlangsung dalam bingkai hukum berkeadilan dan berkedaulatan. Peranan hukum mampu tegak karena adanya sikap apresiasi bangsa kepada nilai-nilai serta kepatuhan terhadap hasil kesepakatan dalam ruang ekspresi kebersamaan.

Dadan Syarifudin menyebutkannya, bahwa orang Sunda memegang prinsip “hade goreng ku basa”, artinya, segala sesuatu itu akan bernilai baik atau buruk oleh bahasa. Pemahaman ini mengantarkan kita untuk selalu terbuka, jika hal itu baik, maka katakanlah baik. demikian juga sebaliknya.

Tatanan dalam kehidupan Sunda pun, tutur Dadan Syarifudin, selalu terekspresikan dalam sejumlah instrumen-instrumen harian seperti melalui peralatan makan sederhana namun kaya dengan konsep nilai luhur. “Ada sebuah alat sebagai wadah nasi, namanya “boboko”. Alat ini bersal dari bambu, terdiri dari tiga bagian besar, yaitu “soko” (penyangga pada bagian bawah), “awak boboko” (wadah tenpat nasi), dan “wengku” (bambu penjepit anyaman boboko pada ujung bibir pemukaan wadah). Soko, awak boboko, dan wengku dalam boboko itu kerap menjadi simbol kepribadian dan ketaatan seseorang kepada aturan, bahwa ketika kita berbicara aturan itu, kita tahu dasarnya, isinya, dan juga batasannya,” kata Dadan Syarifudin.

Dari memahami hal-hal sederhana inilah, pungkas Dadan Syarifudin semakin jelas bahwa keberadaan diri sebagai manusia dalam kehidupan ini memiliki tugas hidup masing-masing dengan tetap berpegang kepada aturan dan nilai. Berbeda halnya antara tugas hidup dengan kewajiban hidup, pada prakteknya kewajiban hidup lebih luas dalam menjalani kehidupan itu sendiri bagi penopang kehidupan orang terdekat dan meraka yang berada di sekekliling kita, seperti mencari nafkah dan mendidik anak.

Panglawungan

Sementara itu, Yusuf Maulana atau Uce, dalam saresehan itu mengusulkan pendekatan dalam berdiskusi. Berdialektika itu sangat penting dalam membangun peradaban dan ini sudah menjadi bagian dari kehidupan besar peradaban Sunda.

Uce menunjukan sebuah istilah “panglawungan”, sebuah pendekatan orang Sunda saat mengadu gagasan. Pendapat diri, sekecil apapun seyogiannya mendapat apresiasi dari lawan bicara. Perihal kemudian terdapat kekurangan, maka pada saat itulah hal-hal belum sempurna tersebut seyogiannya mendapat penyempurnaan atau pengisi bagi ruang-ruang kosongnya.

Tentu saja, kata Uce, beradu pendapat semacam ini masing-masing pihak harus berusaha mandiri dengan pendapatnya sendiri, sehingga penilaian benar atau salah, upaya koreksi dan pertanggungjawabannya pun kembali kepada diri sendiri. “Nah, kumpulan orang-orang yang ada di sekeliling itulah kemudian bagaimana mengambil langkah untuk melengkapi ketika terdapat kekurangan” kata Uce.

Uce melihat, bahwa pola “panglawungan” dalam berdialektika di tataran orang-orang Sunda, masih sangat relevan penerapannya bagi kehidupan sekarang. “Sunda itu “miindung ka waktu, mibapa ka zaman” atau bergerak bersama berubahnya zaman serta nilai-nilainya pun senantiasa berlaku dalam berbagai situasi dan kondisi serta perubahan yang ada,” kata Uce.

Tidak kalah penting, Uce mengedepankan pula sebuah pendekatan penggalian nilai dalam lingkup kehidupan orang Sunda yaitu perihal membedah ilmu pegetahuan dengan tiga langkah: Alamiah, Diniah, dan Ilmiah (ADI). Langkah ini membuat Sunda menjadi kaya dengan “pangarti” atau pengetahuan serta peka terhadap keadaan alam sekitar. Selebihnya, nilai-nilai itu akan memberi manfaat besar apabila dalam prakteknya kita mampu melakukan “suwung” atau penerimaan keadaan alam oleh diri dengan keadaan jiwa bersih.

Kajian menarik dan mendalam, berlangsung santun dan saling memberikan pencerahan. Banyak hal tergali dan kemudian memberikan inspirasi baru serta jalan bertindak untuk memasuki babak baru kebangkitan Sunda pada milenium ke tiga Masehi.

Sebagai sebuah catatan pertemuan, tulisan ini belum menjadi akhir mengupas hasil pertemuan. Ada catatan-catatan lain juga sangat penting untuk kita sampaikan pada masa-masa mendatang. Redaksi potensinetwork.com akan menyajikannya kembali catatan seri Kebudayaan Sunda sebagai kontribusi kalangan media bagi pemajuan kebudayaan dan penguatan upaya penyelenggaraan event-event penting kebudayaan. (Teguh Ari Prianto/Nendy S.)