Agen Perubahan Itu Orang Hebat, Dekat dengan Sumber Masalah, dan Memberi Makna Kepada Lingkungan

perubahan
Teguh Ari Prianto. (Foto: potensinetwork.com/Istimewa)

POTENSINETWORK.COM – Setiap mahasiswa datang ke kampus dengan satu harapan antara lain menjadi pribadi lebih baik dan membawa perubahan. Istilah “agent of change” bukan sekadar jargon OSPEK, tetapi panggilan moral untuk berani berpikir, berbuat, dan berempati. Seorang mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga memahami realitas sosial-budaya di sekitarnya.

Memahami istilah agen perubahan, ada baiknya memulainya dari memaknai tentang kehidupan sosial budaya dimana seorang agen perubahan itu berda. Ini artinya apa? Ya, perubahan yang baik selalu berangkat dari pemahaman atas kondisi nyata masyarakat. Dalam budaya Sunda, ada filosofi yang bisa menjadi panduan sederhana tapi kuat: “pager bitis” dan “saeutik oge mahi.”

“Pager bitis” mengandung makna selesaikan urusan dengan kedekatan. Dalam bahasa sederhana, selesaikan masalah dengan duduk bersama, antara betis dan betis beradu. Itulah esensi agen perubahan—hadir di tengah persoalan, bukan di luar pagar. Mahasiswa yang berjiwa agen perubahan tidak menonton masalah, tapi menembusnya dengan dialog dan empati.

Melengkapinya, ada pula ungkapan “basa mah teu meuli.” Bahasa itu gratis. Artinya, komunikasi adalah senjata utama seorang agen perubahan. Mahasiswa harus cermat memilih kata dan peka terhadap waktu atau momentum, karena keberhasilan perubahan sering bergantung pada cara berbicara dan kapan bicara.

Baca Juga:  Debat dengan Mahasiswa, Luhut Menolak Saat Diminta Buka Big Data Penundaan Pemilu

Lalu, “saeutik oge mahi” berarti sedikit pun cukup. Ini menggambarkan efisiensi dan daya gerak. Perubahan besar sering berawal dari langkah kecil tapi konsisten. Mahasiswa tak perlu menunggu jadi “hebat dulu,” cukup mulai dari hal sederhana di lingkungannya.

Berpikir Lokal, Bertindak Lokal, dan Membuatnya Viral

Dalam pandangan saya, agen perubahan sejati dimulai dari langkah kecil di lingkungan sendiri. Berpikir lokal, bertindak lokal, lalu dengan teknologi terkini buatlah viral. Itulah cara baru untuk menggerakkan semangat perubahan di era digital.

Menjadi Ketua RT di lingkungan sendiri memberi saya banyak pelajaran bahwa, ruang kecil pun bisa menjadi laboratorium perubahan sosial. Dari lingkup kecil itu, mahasiswa bisa belajar mengelola program, memahami dinamika masyarakat, dan menciptakan dampak nyata yang bernilai universal. Karena perubahan besar selalu dimulai dari hal yang dekat dan kita pahami.

Kaitannya dengan kehidupan mahasiswa saat ini bahwa bagaimana menjadi mahasiswa bernilai dan Berdampak. Mahasiswa hari ini bukan hanya pelajar, tapi calon pemimpin, inovator, dan pembangun masa depan. Karakter unggul mereka ditandai oleh lima hal: disiplin, kritis, kreatif, berintegritas, dan berempati sosial.

Baca Juga:  Paradoks Dunia tentang Sunda

Mahasiswa upayakan selalu berpikir orisinal dan mencari sebanyak mungkin pengalaman empirik di lapangan. Pengalaman terlibat langsung dalam lingkungan akan menjadi sumber energi tidak ada habisnya.

Mahasiswa yang menjadi agent of change akan bertanya, “Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat lingkungan kampus atau masyarakat menjadi lebih baik hari ini? Jawabannya bisa beragam. Membangun gerakan sosial, menginisiasi inovasi kampus, membuat kegiatan mahasiswa yang berdampak langsung bagi masyarakat, semua adalah wujud nyata dari semangat perubahan itu.

Setiap orang punya “ruang perubahan” berbeda. Ada yang bergerak di bidang lingkungan, ada yang fokus pada kewirausahaan sosial, dan ada pula yang mengembangkan literasi digital. Apa pun bidangnya, pendekatan sosial budaya mengajarkan kita untuk mengerti dulu sebelum mengubah. Karena sejatinya, agen perubah adalah mereka yang mampu hadir, mendengar, dan menggerakkan.

Output dari semua langkah ini sederhana tapi mendalam, yaitu bahwa mahasiswa memahami peran strategisnya sebagai agen perubahan, tumbuh rasa tanggung jawab dan semangat kontribusi, dan muncul visi pribadi selama kuliah—arah yang memberi makna pada setiap langkah.

Baca Juga:  Pemkot Bandung Gait Mahasiswa UPI Rancang Ruang Publik Ramah Lingkungan dan Disabilitas

Menjadi agen penggerak bukan soal seberapa besar pengaruh kita, tapi seberapa tulus kita melangkah dan seberapa dekat kita dengan persoalan nyata. Seperti filosofi Sunda bilang, “pager bitis” — duduklah dekat dengan masalah, karena dari situlah perubahan lahir. (Teguh Ari Prianto)

 

Materi dalam kegiatan Masa Optimalisasi Mahasiswa Manajemen (MOMEN) Universitas Al-Ghifari tahun 2025-2026 dengan Tema “Terwujudnya Mahasiswa Manajemen Sebagai Profesional Muda dengan Growth Mindset”

Penyampai Materi: Teguh Ari Prianto
(Penulis, Ketua RT 04 RW 04 Kelurahan Mekarmulya Panyileukan Kota Bandung, dan Aktif sebagai Tutor Sekolah Kesetaraan di Kota Bandung)