CIMAHI, Potensinetwork.com – Senja baru saja usai, bergeser menuju malam. Walau belum larut, setelah rintik hujan yang mereda, dinginnya angin malam mulai terasa dan menghembus kulit kami bertiga.
Malam itu sekira ba’da isya, laki-laki paruh baya bercerita dan mengungkapkan jalan cerita kehidupanya yang ia alami selama ini.
“Lima belas tahun lalu, saya pensiun dari pekerjaan sebagai karyawan swasta disebuah perusahaan kulit di Bandung. Itu sekitar tahun 2010”, ujarnya mengawali cerita.
Kami bertiga, duduk bersila dihadapan kami seorang pria kelahiran Jakarta 16 Januari 1953 yang sudah 25 tahun tinggal di Cimahi, tepatnya didepan kantor kecamatan dan berjarak sekitar seratus atau dua ratusan meter dari Kantor Wali Kota Cimahi (Pemkot).
Seorang diri, dia tinggal dan menempati sepetak rumah sederhana berukuran 1,5 tumbak (atau sekitar 22 M2), tepatnya di Rt.02/ Rw.09 Kelurahan Cibabat Kecamatan Cimahi Utara, (depan Kantor Kecamatan Cimahi Utara).
Terdengar, sesekali dia menarik nafas lalu dihembuskannya dengan sentakan tipis sebelum melanjutkan kisah hidupnya yang selama dua puluh lima tahun di Cimahi. “Nama saya Priyadi, orang memanggil saya Yadi,” ujarnya singkat, memperkenalkan diri.
Ditemani singkong rebus dan cemilan ringan serta segelas kopi plus rokok kegemaran kami masing-masing, pria berperawakan kurus dengan balutan T Shirt warna biru itu, walau terlihat malu-malu terkesan ingin menyembunyikan kisah hidupnya.
Kedekatan dan pendekatan komunikasi kami, membuat dia mau mengungkapkan jalan hidupnya walau sesekali terhenti karena helaan dan tarikan nafasnya yang mulai tersengal dimakan usia.
Sesekali kami perhatikan, tatapan dan sorot matanya kadang tak fokus, sekilas menggambarkan bahwa dia sedang berada dititik rendah, atau bahkan mungkin sedang dititik terendah dalam kehidupannya.
Ungkapnya, ternyata selama ini dia menginginkan dengan penuh harap akan bantuan dari pemerintah setempat (Pemkot Cimahi) untuk kebutuhan hidup yang kian menghimpit.
“Saya sering nahan lapar, kadang sehari makan kadang tidak. bahkan pernah hampir dua hari gak makan. Untungnya abah Dirja ini sering bantu saya untuk sekedar makan atau ngopi dan merokok bersama dirumahnya”, ujarnya.
Dalam pengakuannya, walau tahu ada bantuan ini itu, bapak tiga anak dan empat cucu ini, yang kini hidup sendiri dirumah kecil peninggalan mertuanya, dengan lantai plester lama. Istrinya sudah lama meninggal, anak-anaknya tinggal di luar daerah, walau sesekali ada bantuan dari anaknya yang tak seberapa, karena anaknya pun punya kehidupan yang prihatin juga.
Dari cerita yang terurai darinya, ternyata mang Yadi, bertahun-tahun tinggal Cimahi, tepatnya didepan kantor kecamatan dan tak jauh dari kantor Wali Kota Cimahi, selama bertahun-tahun ia tak pernah menerima bantuan dari pemerintah. Walau dia tahu ada bantuan ini itu dari pemerintah.
“Awal bulan Desember ini, saya baru sekali-kalinya menerima bantuan berupa beras (sekian kilo) dan minyak. Itupun karena saya disuruh menggantikan orang lain (yang terdata dan calon penerima bantuan), karena nama saya tak ada dan tak pernah tercantum sebagai penerima bantuan dari pemerintah sejak lama sekali”, terangnya.
“Disisi lain, saya beruntung masih ada tetangga yang baik dan perhatian”, lanjutnya. Saat disinggung kenapa tak memohon atau mengajukan ke pihak RT atau RW atau ke penguasa setempat (Pemkot), Yadi enggan bercerita panjang.
“Saya capek dan tak punya kuasa, yang saya tahu yang menerima bantuan ini itu adalah orangnya itu itu juga, bahkan ada yang masih kerabat dekat yang punya wilayah”, katanya. Ia pun tak ingin berprasangka negatif terlalu jauh.
Kini, Yadi berharap uluran tangan atau perhatian serta bantuan dari perhatian pemerintah setempat, seperti ketersediaan air untuk harian yang makin repot karena mesin poma / air dirumahnya yang rusak, yang belum sempat diperbaiki karena ketidakmampuannya, bahkan tempat tinggalnya ingin ada perbaikan (bantuan) karena sudah banyak yang bocor dan belum sempat diperbaiki karena faktor biaya. Atau namaya ingin tercantum dan terdata sebagai calon penerima bantuan pemerintah yang ada di tiap tahunnya, yang selama ini tak pernah ia nikmati.
Semuanya itu tak mampu dilakukan olehnya karena ketidakmampuan dalam kehidupan sehari-harinya.
Singkatnya, jika yang begini masih ada dan terjadi, maka pertanyaannya dimanakah peran penguasa lingkungan atau pemimpin lingkungan dan atau pemangku kebijakan melihat kondisi kehidupan warganya yang seperti Yadi ? sejauhmana kepekaan sosialnya ? ….
Kondisi warga yang seperti Yadi diyakini masih banyak dan tak terkspos, karenanya jangan sampai ada istilah peribahasa “bagai gajah dipelupuk mata, tiada kelihatan “….. tinggal di tengah kota dan dekat dengan pusat pemerintahan, tetapi kondisi kehidupannya amat sangat memprihatinkan.
“Jangan hanya seremonial atau pencitraan saja yang terekspos dalam kegiatan keseharian dari pemerintah, kepada pemerintah (pemkot) tolong perhatikan nasib orang seperti saya, dan saya yakin masih ada bahkan mungkin tak sedikit yang senasib atau bahkan lebih prihatin dari kehidupan saya, khususnya di Cimahi”, tandas pria yang ternyata mahir jadi bassit band, karena hobby. *tr_
Disclaimer: Cerita nara sumber sudah sudah disunting dan melalui editing. Beberapa hal wajib kami lindungi karena privacy maupun dalam penyajian. Kepada pemerintah setempat/pemangku kebijakan dimohon action nyata terhadap realita kehidupan warganya ….*









