(KAB. SUBANG), Potensinetwork.com – PT.Perkebunan Nusantara, adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak disektor perkebunan, bertanggung jawab sebagai perusahaan manajemen aset perkebunan unggulan dengan mandat untuk mengoptimalkan dan mengelola aset kepada pemerintah Indonesia sebagai pemilik saham mayoritas dan BUMN, serta masyarakat melalui Program Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan atau TJSL, serta CSR.
Pemerintah Republik Indonesia (BUMN) bukan pemilik aset tanah yang dikelola oleh Pihak PT.Perkebunan Nusantara, karena tanah-tanah tersebut ada pemiliknya dan suratnya, (Acta Eigendom Verponding).
Pemerintah adalah pihak yang menguasai terhadap tanah-tanah yang terlantar sekian lama oleh pemiliknya. Hak pengelolaan lahan oleh PT.Perkebunan Nusantara, diatur oleh Undang-Undang, ada batas waktu pengelolaanya, tercatat dalam Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah NKRI, merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945, maka negara mengatur tentang kepemilikan tanah dan penguasaan tanah dengan menerbitkan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden R.I.
Hal ini dilakukan agar bangsa Indonesia bisa hidup makmur dan sejahtera serta terciptanya pemerataan pembangunan diseluruh wilayah NKRI, sehingga dapat meningkatkan nilai perekonomian dimasyarakat.
Akta van Eigendom Verponding adalah produk hukum jaman Kolonial Belanda, akan tetapi setelah dilaksanakan konversi, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria N0.5 Tahun 1960, adanya konversi pasal 21 dan Keputusan Presiden R.I, No.32 Tahun 1979, maka hak kepemilikanya memiliki kekuatan hukum tetap, dilindungi oleh Undang-Undang RI, dan Putusan Mahkamah Agung RI, Mahkamah International (MI) yang berada di Denhaag negeri Belanda, serta lembaga dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Eigendom dapat diartikan merupakan hak milik pribadi terhadap tanah tercatat dalam, KUHPerdata Pasal 570 (Burgerlijk Wetboek) hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan umum dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Verponding menurut Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 1 Nomor 33 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 15 Tahun 1952 mengenai Pemungutan Pajak Verponding Tahun 1953 dan berikutnya Lembaran Negara No. 90 Tahun 1952 sebagai Undang-undang dinyatakan Verponding sebagai Harta Tetap sebagaimana disebut dalam pasal 3 Ordonansi Verponding.
Eigendom merupakan istilah dalam hukum kebendaan perdata barat jaman Belanda atau Nederland Indhie , yang artinya “Hak Milik”. Eigen berarti diri atau pribadi dan Dom menunjuk kepada arti Dominium Hak Milik, kepemilikan Akta Eigendom Verponding, haknya dilindungi oleh Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) No.39 tahun 1999, diatur dalam UUD 1945 dan berdasarkan Deklarasi Universal HAM yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. HAK yang dilindungi dalam deklarasi diantaranya hak memiliki harta benda Pasal 28 G pasal 28 H ayat (4) setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Untuk melaksanakan atau memenuhi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No, 74 tahun 1957 maka pada tanggal 24 Januari 1958 diterbitkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 yang mengatur tentang Tanah-Tanah Partikelir dan Eigendom Verponding, yang memiliki luas tanahnya melebihi dari 10 Bouw atau 70.965 M2 X 10 ( + 8 ha.), maka sebagian tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. (pengertian dikuasai bukan untuk dimiliki negara), Pasal. 8 Ayat 2, apabila berkeinginan untuk memilikinya, maka harus ada kompensasi atau ganti rugi dan dibuatkan pelepasan haknya.
Pemerintah berhak untuk mengatur kepemilikan tanah seseorang, hal ini agar tanah tersebut bermanfaat dan menghasilkan nilai ekonomi demi menunjang kehidupan bangsanya, Hak Guna Usaha (HGU) Hak Guna Bangun (HGB) dan Hak Pengelolaan Lahan, dengan batas waktu yang sudah ditentukan oleh UUD, apabila ada ahli waris dari pemiliknya maka tanah tersebut harus diserahkan kepada pemiliknya.
Sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah, Pasal. 17 Ayat 3 menyatakan tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada pemilik.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, membahas mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak atas tanah, tetapi secara spesifik tidak ada “ayat (3)” dalam Pasal 17 yang terpisah dalam teks undang-undang yang umum.
Pasal 17 itu sendiri merupakan bagian dari Bab VII yang berisi tentang ketentuan-ketentuan pendaftaran tanah, dimana ayat-ayatnya mengatur mengenai pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak.
Berikut adalah rincian dari Bab VII Pasal 17 UUPA No. 5 Tahun 1960:
Ayat (1): Mengatur kewajiban bagi pemegang hak untuk mendaftarkan hak-hak atas tanah, serta peralihan hak, dengan biaya yang dibebankan kepada pemegang hak tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku;
Ayat (2): Menyatakan bahwa pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah, serta pemberian surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat;
Ayat (3): Meskipun tidak ada ayat (3) yang terpisah, ayat-ayat dari Pasal 17 secara keseluruhan menekankan pentingnya pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak bagi pemegang hak.
Penting untuk diperhatikan;
Teks UUPA No. 5 Tahun 1960 seringkali mencakup berbagai ketentuan terkait hak-hak tanah dan pendaftaran tanah. Pasal 17 merupakan bagian penting dari sistem pendaftaran tanah di Indonesia, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah.
Ketentuan lain dengan Peraturan Perundang – undangan Pemerintah, Peraturan Pemerintah R.I, No. 224 Tahun 1961, tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, Bab II Pasal 6, pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah, tanah yang dibagikan oleh pemerintah kepada masyarakat adalah tanah yang sudah dibayar ganti ruginya.
Konversi pasal 21 UUPA No.5 Tahun 1960, Hak Eigendom atas tanah menjadi Hak Pakai, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Guna Usaha, Pasal I,II,III, IV dari UUPA, berdasarkan pasal 22 ayat (2) UUPA, No.5 Tahun 1960, dapat diketahui bahwa salah satu terjadinya hak milik karena adanya Undang – Undang.
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI. No.40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, jangka waktu Hak Pakai pasal 45, ayat (1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan perpanjangan 20 tahun.
Pasal 12 point 1 bagian (g) menyatakan setelah habis hak pakainya kepemilikan HGU, tanah dikuasai kembali oleh negara (bukan dimiliki akan tetapi diamankan, apabila ada pemiliknya maka akan diserahkan kembali dengan prosudur sesuai dengan undang-undang ).
Surat Departemen Kehakiman No. 05/BHP/10/1999, tanggal 24 Oktober 1999, menegaskan kepada Pemerintah Daerah Gubernur, Walikota atau Bupati, yang telah menguasai tanah-tanah Eigendom Verponding, agar menyerahkan kepemilikan tanahnya kepada pemiliknya sesuai dengan Undang-undang No.51 Prp Tahun 1960, tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya.
Pewaris dapat memberikan seluruh harta peninggalanya kepada orang lain dengan Hibah semasa hidupnya atau dengan Wasiat (Pasal 917 KUHPerdata).
Terkait dengan hal-hal tersebut diatas, patut diduga bahwa keabsahan penguasaan lahan-lahan perkebunan yang sekian lama telah dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara, sudah habis masa berlakunya. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh PTP Nusatara VIII c/q. PTP Nusantara 1 Regional 2 selama ini.
PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero), pada suratnya yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Subang, tertanggal 30 Agustus 2006, perihal; Penjelasan atas tanah yang dikelola PTPN VIII (Persero).
Menyampaikan hal-hal yang yang diantaranya, terdapat point yang menyatakan, bahwa;
- “Bagi tanah-tanah HGU atas nama PTPN VIII (Persero) mengingat pada tahun 2002 akan berakhir, pihak PTPN VIII (Persero) sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya masa berlaku HGU, telah mengajukan permohonan perpanjangan haknya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat melalui kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat.”
- “Mengenai status tanah HGU PTPN VIII (Persero) dalam wilayah Kabupaten Subang terdapat 4 (empat) perkebunan, yaitu Perkebunan Ciater, Perkebunan Tambaksari, Perkebunan Wangunreja dan Perkebunan Jalupang. Adapun dasar-dasar hukum kepemilikan serta alas haknya dijelaskan melalui matrik terlampir.”
- PT.Perkebunan Nusantara VIII (Persero), berasal dari gabungan beberapa PT Perkebunan yang telah dikonsolidasi yaitu PT.Perkebunan XI (persero), PT.Perkebunan XII (Persero) dan PT.Perkebunan XIII (Persero). Selanjutnya dilebur menjadi PT.Perkebunan Nusantara VIII (Persero), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor :13 tahun 1996 dan Akta Pendirian nomor : 41 Tahun 1996, Notaris harun Kamil.”
- Bagi areal yang dilakukan pelepasan hak, perlu kami jelaskan bahwa aset negara tersebut dilepaskan berdasarkan mekanisme dan prosedur yang berlaku dan atas persetujuan dari pemegang saham dalam hal ini Menteri Keuangan RI dan kuasa pemegang saham adalah Menteri Pertanian RI.”
Dalam akhir penjelasannya pada surat tersebut, disebutkan bahwa secara yuridis an sich, penguasaan HGU PTPN VIII adalah sah dan pelepasan kepada pihak ketiga sesuai prosedur. Demikian penjelasan PTPN VIII (Persero) dalam suratnya. Surat ditandatangani oleh Ir.H.A. Malik, M.M., selaku Direksi.
Selanjutnya, pada tanggal 14 Juli 2000, PT.Perkebunan Nusantara VIII (Persero) mengajukan surat permohonan perihal Perpanjngan Hak Guna Usaha (HGU), dengan Nomor Surat : SB/D III/2508/VII/2000, kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, Jalan Soekarno Hatta No.586 Bandung.
Dalam suratnya, PT. Perkebunan Nusantara VIII (Persero), memohonkan perpanjangan HGU untuk 4 (empat) perkebunan yakni, Perkebunan Ciater (Ciater, Serangsari), Perkebunan Tambaksari (Tambaksari, Kasomalang, Bukanagara), Perkebunan Wangunreja (Wangunreja, Sumurbarang) dan Perkebunan jalapung (Jalapung, Sukareja, Cipeundeuy). Surat permohonan tersebut ditandatangani oleh Direktur Produksi, Ir.Iman Santoso, S.E.
Memperhatikan surat permohonan yang diajukan oleh PT.Perkebunan Nusantara VIII (Persero) tersebut, pihak Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, melalui Surat Nomor 540 – 1916, tertanggal 11 Agustus 2000, perihal Perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang dimohonkan oleh PT.Perkebunan Nusantara VIII (Persero), tanggal 14 – 7 – 2000 Nomor : SB/D.III/2058/2000, setelah dilakukan penelitian oleh Panitia Pemeriksa Tanah “B” Provinsi Jawa Barat, selanjutnya oleh pihak Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat, untuk tertib administrasi, berkas permohonan (PTPN VIII Persero) dikembalikan.
Bahwa Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan a/n. Kepala Badan Pertanahan Nasional, melalui Surat Nomor 540.1-1059-D.I, tanggal 16 Mei 2006, melayangkan surat kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, perihal Pengembalian berkas Permohonan Perpanjangan Waktu Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara VIII atas tanah seluas 3.567.7163 ha, terletak di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Undang-Undang Republik Indonesia No.39 Tahun 2014, Tentang Perkebunan, Bab XVII tentang Ketentuan Pidana Pasal 105 setiap perusahaan perkebunan yang tidak memiliki ijin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1), diancam pidana kurungan selama 5 tahun dan denda sebanyak Rp.10.000.000.000,- (Sepuluh Miliar Rupiah).
Pasal 106, Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota, menerbitkan ijin tidak sesuai peruntukan dan menerbitkan ijin tidak sesuai syarat dan ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
Pasal 107, point (b) mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan atau mengusai tanah masyarakat atau tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk usaha perkebunan, sebagaimana dimaksud dalam pasal. 55 diancam pidana penjara selama 4 tahun atau denda paling banyak Rp. 4. 000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Subs pasal 264 KUHPidana jo 46 ayat 1 jo Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1993 Tentang Perbankan, Pemalsuan Surat Berharga, ancaman hukuman 8 (delapan) tahun kurungan penjara.
Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa perang pusat untuk daerah Angkatan Darat berdasarkan Undang-Undang No. 74 tahun 1957, tentang Keadaan Bahaya (L.N. Tahun 1957 No. 16) telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu /011/1958, tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya, yang kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/041/1959.
Kemudian dirubah kembali menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang N0.51 Tahun 1960, tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya, hal ini dilakukan agar tidak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penyerobotan lahan hak milik orang lain.
Hasil investigasi dilapangan, didapat keterangan bahwa hak pakai (Hak Guna Usaha / HGU). PTPN VIII atas lahan eks eigendom verponding Nomor 2044 dan 2045, diyakini telah habis masa berlakunya pada tahun 2002, (permohonan HGU tahun 1978).
belakangan, bahkan masih adanya intimidasi dan atau teror yang diterima petani / masyarakat penggarap, yang diduga dilakukan atau patut diduga menggunakan orang-orang suruhan dari pihak pengelola.
Disebutkan bahwa, Penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI No.40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, jangka waktu Hak Pakai pasal 45, ayat (1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan perpanjangan 20 tahun.
Pasal 12 point 1 bagian (g) menyatakan setelah habis hak pakainya kepemilikan HGU, tanah dikuasai kembali oleh negara (bukan dimiliki akan tetapi diamankan, apabila ada pemiliknya maka akan diserahkan kembali dengan prosudur sesuai dengan undang-undang).
Terkait dengan hal tersebut patut diduga, masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VIII atas lahan yang dikuasai tersebut hingga kini, telah habis dan tidak dapat diperpanjang, tetapi pihak PTPN VIII masih menguasai lahan tersebut hingga kini.
Bahkan diduga ada perjanjian sewa antara pihak PTPN VIII dengan pihak ketiga, disisi lain alas hak si pemberi sewa patut dipertanyakan masa berlaku hak pakainya (HGU), (habis masa berlaku dan tidak dapat diperpanjang hingga kini).
Adanya alih fungsi lahan dari tanaman kebun nanas yang dulu sempat digarap oleh masyarakat sekitar yang tergabung dalam Aliansi Petani Nanas Subang, sejak tahun 2007 telah beralih fungsi dari lahan kebun nanas menjadi kebun sawit, dengan cara upaya paksa, berdampak pada ekosistem lingkungan.
Dampaknya, diyakini oleh masyarakat sekitar yang terdampak, bahwa perubahan alih fungsi tersebut mengganggu kebutuhan (air) bagi masyarakat sekitar.
Ironisnya, upaya peralihan alih fungsi lahan tersebut, diduga dengan cara yang cenderung kearah pemaksaan dan arogansi,yang diduga dengan melibatkan pihak-pihak tertentu sebagai orang-orang bayaran, (kejadian dimasa lampau sekitar tahun 2007 an), oleh pihak perusahaan yang dimaksud.
Akibatnya, peristiwa tersebut mengakibatkan traumatik warga/ masyarakat penggarap nanas (saat itu). Hingga kini masyarakat penggarap yang telah kehilangan hak garapnya, mengalami kesulitan ekonomi dalam kehidupannya. Karenanya, mereka (masyarakat/penggarap) masih terus melakukan upaya hukum (petani penggarap).
Penguasaan Tanah Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT. Perkebunan Nusantara VIII, hak pengelolaannya sudah habis waktunya, kenapa hingga kini, pihak PT.Perkebunan Nusantara VIII tidak menyerahkan lahan tersebut kepada negara melalui pemerintah daerah atau kepada pemiliknya, yang memiliki bukti dokumen kepemilikan tanah sesuai ketentuan yang berlaku.
Patut diduga adanya kerjasama pemanfaatan lahan tanah garapan PT.Perkebunan Nusantara VIII (saat itu / hingga kini), dengan para investor pembangunan objek wisata, apakah hal ini sudah seijin Menteri Kementerian BUMN dan Menteri Lingkungan Hidup serta Gubernur ? ..
Dari konfirmasi tertulis yang dilayangkan kepada pihak PTPN, hingga berita ini dirilis, tak ada jawaban atau tanggapan serius. Tak jelas atas dasar apa dugaan adanya kerjasama antara PT.Perkebunan Nusantara VIII dengan BUMD PT.Jaswita (Jasa dan Pariwisata), atas lahan – lahan yang dikuasai. Sementara ijin HGU (PTPN VIII Persero) sudah habis masa berlakunya.
Karenanya, kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dituntut untuk menyikapi dan menelusuri bahkan harus mampu menuntaskan permasalahan yang terjadi di lahan eks eigendom verponding di Kabupaten Subang itu.
Dari rentetan yang berlarut-larut tersebut, pihak masyarakat yang tergabung dalam wadah (Aliansi) Himpunan Petani Nanas Subang, terus melakukan upaya hukum hingga tingkat manapun. Akankah arogansi oligarki masih terus dipertahankan di era sekarang ini, karenanya investigasi terus berlanjuut, kupas tuntas topik ini akan lebih mendalam di edisi berikut ….. * /rdd_#tri_




