“MEMULIAKAN Agama Islam, melestarikan kebudayaan Sunda”
Itulah misi utama Paguyuban Pasundan.
Terasa ringan tapi berat juga. Persoalan mayoritas orang Sunda beragama Islam itu sih sudah pasti, sehingga ada jargon terkenal Sunda itu ya Islam, Islam itu ya Sunda.
Tapi ukuran hidup yang islami dan Nyunda itulah klasifikasi beratnya.
Bahkan hingga hari ini, perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Paguyuban Pasundan belum benar-benar mampu mempraktekkan berkehidupan islami yang nyunda, demikian kata seorang praktisi dan sekretaris Yayasan Perguruan Tinggi (YPT) Pasundan di kantornya.
Lebih lanjut ia memaparkan, Univrrsitas Pasundan(unpas) yang masuk 19 besar PTN/PTS se-Indonesia dan mengantongi ranking 16 harusnya memiliki ciri mandiri kesundaan yang jelas, tak sekadar slogan dan seharusnya muncul dari bawah, bukan sekadar bentuk instruksional dari atas, karena untuk mengoptimalkan gaung kesundaan itu tidak cukup hanya dengan teori.
Sebaliknya harus dengan “praknya”. Harus bermunculan ide dan gagasan yang tentunya dimengerti semua pihak.
Dengan demikian akan mendapat dukungan kuat tidak hanya dari pihak intern Pasundan, bahkan pemerintah sekalipun pasti tidak akan tinggal diam.
Alhasil bagaimana kitanya saja.
Adakah terbersit dalam hati kita yang notabene sebagai putra Sunda untuk mengelola kebudayaan Sunda?
Untuk kemudian berperilaku Nyunda.
Nyunda inilah yang berat bila dibandingkan dengan islami saja, karena persoalan nilai Islami telah sedari dulu berada di dalam aqidah setiap orang Sunda.
Apabila Unpas saja telah mampu melaksanakan kehidupan Nyunda-nya yang islami dalam kesehariannya, niscaya akan memberi motivasi lain kepada para calon mahasiswa Unpas.
Bagaimanapun juga akan menyedot minat mereka sebagaimana orang berjualan air mineral di padang pasir.
Bagi mereka yang kehausan, tentu tidak akan berkompromi dengan yang namanya seberapa besar jumlah uang yang akan melayang dari sakunya.
Sangat diperlukan ciri khas dari sebuah perguruan tinggi tanpa hanya sekadar mengandalkan iptek saja.
Terutama perguruan tinggi yang berada di bawah naungan Paguyuban Pasundan.
Bukan sekadar sikapnya yang “nyunda” juga ilmu pengetahuannya yang secara khusus untuk kepentingan masyarakat Sunda.
Hal ini telah dimulai oleh Jurusan Teknologi Pangan Pakultas Teknik Unpas.
Penelitiannya telah diarahkan kepada kuliner Sunda, bagaimana cara mengemas-apik makanan tradisional Sunda agar benar-benar memiliki daya tarik plus bagi konsumen hingga ke mancanegara.
Yakinlah sesungguhnya sumber ilmu pengetahuan kebanyakan berada di pedesaan Sunda.
Demikian pula demokrasi untuk ilmu politik, kita mesti tahu bahwa sejatinya demokrasi itu ya berada di pedesaan
Selain itu, kita perlu memikirkan perekonomian berbasis nyunda pula.
Begitu juga dengan dunia politiknya.
Sunda punya cara berpolitik khas dari sejak dulu.
Tidak meminjam atau mendompleng dari tatanan negara atau ras.***