Gugatan IKN Terus Antri, dari Guru Besar Sampai Guru Honorer

UU IKN yang telah ditandatangani Presiden Jokowi 15 Februari 2022 lalu juga dianggap berpotensi memunculkan pelanggaran HAM.

Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada empat catatan potensi pelanggaran HAM tersebut; yakni pengabaian hak partisipasi, minimnya akses informasi, hak atas lingkungan hidup, dan hak atas rasa aman.

Beberapa waktu lalu Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) yang diketuai oleh mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menggugat Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga:  Suara Perempuan Terabaikan, Aktivis Kritisi Debat Publik Pilkada Serentak Kota Cimahi Tanpa Panelis Perempuan

Selain Abdullah, nama-nama lain yang tergabung dalam kelompok tersebut adalah Marwan Batubara, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat, Agung Mozin, dan Neno Warisman.

Gugatan didaftarkan ke MK pada Rabu (2/2/2022). Para pemohon menilai pembahasan UU IKN tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).

Abdullah sebagai pemohon I melihat adanya kerugian konstitusional apabila diberlakukannya UU IKN. Dalam salinan surat permohonan yang diterima disampaikan bahwa ia memahami celah-celah terjadinya praktik korupsi di Indonesia, yang salah satunya adalah melalui pembangunan fisik yang dananya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Baca Juga:  Presiden Prabowo Perintahkan Tindak Tegas Pelanggaran Standar Beras Premium dan Medium

“Dana yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru adalah sebesar kurang lebih Rp 501 triliun. Dengan dana yang begitu besar akan membuka peluang untuk terjadinya korupsi,” tulis pemohon I.