Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional

tirto
Tirto Adhi Soerjo

Gelar Pahlawan Nasional

Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.

Setelah pulang dari Maluku ke Jawa, Tirto melakukan perjalanan ke para saudagar dan bangsawan.

Kunjungan-kunjungan ini dilakukan untuk menggalang dana guna sebagai biaya untuk mendirikan terbitan surat kabarnya.

Selama kunjungan tersebut, dia juga menyampaikan gagasannya untuk mendirikan sebuah perhimpunan yang bertujuan untuk memajukan kaum pribumi yang dia sebut “bangsa yang terprentah” agar terlepas dari penjara kolonial.

Tokoh-tokoh yang dia kunjungi dalam perencanaan perhimpunan ini , seperti Raden Mas Prawirodiningrat yang saat itu menjabat sebagai Jaksa Kepala Batavia, Taidji’in Moehadjilin, Tamrin Mohammad Tabrie dan Bachram.

Melalui pengumuman selebaran-selebaran, (Perhimpunan) Sarikat Prijaji berdiri pada tahun 1906.

Bahwa cabang awal berada di Betawi dan akan memperbanyak cabang.

Tujuan mereka adalah pendidikan priyayi dan bangsawan pribumi dengan mendirikan studiefonds (Lembaga dana pendidikan).

Ki Hajar Dewantara mencatat

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: “Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang.

Yaitu almarhum R.M.Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.”

Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani.

Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum

Dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot.

Tjokrosisworo menulis, kecaman hebat Tirto.

Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirto disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan,” tulisnya. *(disari dari wikipedia)