KOTA BANDUNG, POTENSINETWORK.COM– Diskursus tentang Sunda masih sangat menarik bagi kita untuk menggelarnya. Yayasan Wangi Gema Indonesia menangkap alur pikir massa itu pada saat sekarang.
Gedung Indonesia Menggugat menjadi tempat perhelatan diskursus itu dengan tajuk “Next Gen Collaboration” pada Jumat, 20 Desember 2024, dengan pemantik gagasan pertemuan rutin pembahasan kebudayan dari berbagai saluran informasi sebelumnya. Alhasil, dialog itu kembali mewujud dalam ruang nyata dan berujung seru.
Tentunya, kreator acara, Dang Gun Gun Suyansyah, menggawangi acara ini, menghadirkan serta sejumlah pembicara dari berbagai kalangan pemerhati budaya, dan sosial kemasyarakatan, seperti Muhammad Yoga, Asep Jamu, dan Nicko Pandawa. Pembicara lain dalam ruang sama pada sesi kedua diskusi adalah Asep Suparman, Aan Merdeka Permana, dan Dadan Syarifudin.
Pemantik pembicaraan saat itu berkisar tentang kesejarahan Sunda saat mendapat pengaruh karena kedatangan Islam pada abad XV. Nico, sebagai penyetudi Sejarah lulusan kampus UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta menyebutkan bahwa kondisi Sunda pada saat datangnya Islam itu ada dalam keadaan kacau. Nico menunjukan berbagai bukti tentang kekacauan itu dalam wujud-wujud sikap dan keadaan situasi antara raja dengan rakyatnya. Pada satu sisi raja-raja berperilaku menyimpang dan cenderung dengan sikap-sikap pemujaan kepada kenikmatan dunia (hedonisme), sementara rakyat ada dalam keadaan hina dan sengsara.
Islam saat itu datang dan meluruskan keadaan, hingga akhirnya beberapa petinggi Sunda menerima Islam sebagai ajaran dan menjadi rambu-rambu kehidupan untuk mengembalikan lagi keadaan kacau balau kepada keadaan lebih baik.
Kedatangan Islam pun, kata Nico, menandai runtuhnya berbagai kekuatan bercorak Sunda. Sejak saat itu pula berbagai pihak sezaman memproklamirkan berdirinya bentuk kekuasaan baru dengan kekuatan Islam sebagai pondasinya di Nusantara.
Yoga, menyebutkan jika kekuatan Islam itu muncul di Nusantara atau tanah Sunda sebagai wujud eksistensi hegemoni dua kekuatan besar dunia saat itu, yaitu kekuatan Mongol (Cina) dan kekhalifahan Turki. Sunda menjadi “ladang buruan” dua hegemoni kekuatan dunia itu karena posisi strategisnya di mata dunia. Praktik penaklukan terhadap Sunda bagi dua kekuatan hegemoni itu dapat berarti sebagai kerja besar dari niatan penaklukan-penaklukan belahan dunia lainnya. Sunda dengan posisi strategis memiliki nilai kekayaan tinggi dan bermanfaat bagi kelangsungan hajat hidup masyarakat dunia.
Dari sisi pandang ini, Asep Jamu meyakini, bahwa keberadaan Sunda memang demikian adanya. Ruang-ruang pendeskriditan Sunda masif di mana-mana. Meruntuhkan nilai-nilai luhur Sunda seperti sudah menjadi keniscayaan. Sunda dengan nilai-nilai luhurnya tertanam sejak lama. Kaum-kaum hegemoni dunia menganggap hal ini mutlak untuk mereka kuasai. Penetrasi penguasaan mereka lakukan dengan berbagai cara, baik dengan langkah persuasif hingga membuka laku-laku peperangan terbuka.
Sunda dalam gambaran keterdesaknnya, sejumlah pihak menyebutkan hancur atau runtuh. Sementara dalam keyakinan Asep Jamu bahwa Sunda masih kokoh berdiri dengan keunggulan nilai-nilainya. Apabila kemudian nilai-nilai itu terdapat distorsi akibat desakan-desakan pemikiran bangsa lain, Asep Jamu pun mengakui. Ketiadaan tatanan mapan versi Sunda dalam konteks kenegaraan Indonesia saat ini, seolah menggambarkan bahwa Sunda benar-benar hilang dalam periodisasi kejayaannya.
Sunda dengan sejumlah kerangka peradabannya, kata Asep Jamu, masih kokoh berdiri. Hanya saja butuh energi dan intelektual khusus untuk menerjemahkannya kembali hingga pada akhirnya Sunda teradaptasi kembali kepada kehidupan rakyatnya.
Sesi kedua diskusi, Asep Suparman, mengutarakan bagaimana akulturasi Sunda dengan Islam dalam wujud ritual dan sistem religi. Nilai-nilai keluhuran sebagaimana terkandung dalam tataran konteks, tidak ada dikotomi diantara keduanya.
Keluhuran nilai-nalai Sunda dan Islam saat kita menariknya pada sumbu keilahian, kata Asep Suparman, pada akhirnya bertemu pada suatu pemahaman sama. Secara teks, praktiknya memang berbeda, terlebih saat memahaminya dari sisi keberadaan kitab-kitab suci serta seperangkat lain instrumen-instrumen agama.
Dalam uraian ini, Asep Suparman seolah ingin menegaskan, dari sisi mana Sunda dengan Islam itu menunjukan pertentangan. Secara ritual dan pendekatan nilai-nilai religiusitas, antara Sunda dengan Islam sama-sama menunjukan suatu pandangan luhur keilahian atau dengan kata lain, keduanya ibarat bangunan peradaban luhur dunia karena ketercapaian sikap-sikapnya terhadap nilai-nilai ketuhanan.
Aan Merdeka Permana melihat sisi lain Sunda dengan Islam dengan cara renyah. Latar belakangnya sebagai jurnalis pencinta sejarah, menunjukan bahwa harmoni Islam dengan Sunda itu tertanam sejak lama. Hanya saja, daya pikir dan ketajaman pandangan kita saat ini sangat sulit mencapai kepada arti sebenarnya. Sunda memiliki keluhuran nilai dan keagungan sikap sehingga hal itu mencatatkannya sebagai warisan dunia berpengaruh. Tetapi pada sisi lain, siapa orangnya saat ini, ia mampu mencapai kepada nilai-nilai keparipurnaannya. “Mustahil sampai!”, kata Aan Merdeka Permana.
Pada konteks ini, Aan Merdeka Permana berpandangan, bahwa nilai-nilai kesundaan dengan eksistensinya saat ini, bagaimana caranya kita menginventarisasinya kembali, lakukan penggalian makna setidaknya pada tataran pribadi-pribadi penerus bangsanya dengan kreativitas utama.
Keberadaan peninggalan sejarah Sunda dulu itu penting bagi kelangsungan kehidupan dunia. Begitu banyak rahasia-rahasia tersimpan untuk terus kita sibak. Aan Merdeka Permana melihat ini sebagai pintu gerbang memahami keluhuran-keluhuran nilai itu. Pengalamannya menelusuri jejak informasi lapangan membuat Aan Merdeka Permana yakin, bahwa hal-hal utama itu masih banyak terserak dalam hamparan keutuhan Nusantara. Ia meyakini itu dan hingga saat ini masih terus menelusurinya.
Dadan Syatifudin menawarkan kepada audiens tentang bagaimana memahami fenomena Sunda-Islam dari latar belakang ketatanegaraanya. Pembuktian sejarah secara empirik tidak lepas dari sisi pelaksanaan ketatanegaraan Sunda saat itu.
Timbulnya konflik dan peperangan pada saat itu, misalnya, aangat berkaitan dengan sistem-sistem kekuasaan Sunda saat itu nota bene adalah corak ketatanegaraan yang tengah dianut. Tidak ada catatan jika sejarah Sunda-Islam lahir karena prilaku personal semata sehingga memberi pengaruh besar kepada tatanan kehidupan yang ada. Hagemoni juga, terealisasi karena kuasa dan membingkainya dalam ketatanegaraan.
“Apakah kemudian dari sisi ini ada kesalahan dari masa lalu, hal ini perlu kita ungkap sekarang” kata Dadan Syarifudin. Berlangsung kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, terus terinspirasi oleh praktik-praktik ketatanegaraan pada masa lalu. Ciri Sunda, Islam atau bentuk apapun itu sikap-sikap kekuasaan, intinya selalu lekat dengan peristiwa masa lalu dan bentuk kreativitas pada masa-masa sekarang dan futuristik.
Kekuatan pemikiran dari ruang-ruang diskusi budaya ini, kita melihatnya sebagai ranah makro. Alur besar perjalanan zaman mencakup berbagai hal. Kepulangan kita dari ruang diskusi, bagaimana kemudian hal itu menjadi inspirasi terhadap penentuan kepada sikap-sikap perubahan.
Roni Wijaya, sebagai keterwakilan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, pada awal diskusi dibuka, telah menekankan bahwa institusinya mengharapkan adanya proses pengayaan baru dalam ruang kebudayaan Jawa Barat khususnya dan hal bersifat universal. Kepariwisataan terlalu sering menjadi topik besar bahasan, saat ini pengajian kebudayaan pun senantiasa terus diangakat.
Mulailah kita meretas rahasia-rahasia unggul bangsa ini. Sejatinya anak cucu bangsa adalah penerus laju hidup bangsa. Biarkan kita tunjukan bahwa kemandirian dan kepintaran anak-anak bangsa menjadi keniscayaan lalu mengantarkan pulang dengan tenang para pemimpi-pemimpi hegemoni dunia kepada kedudukannya dan titik keberangkatannya masing-masing. (Teguh Ari Prianto)