KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR, POTENSINETWORK.COM– Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Gerakan Rakyat Nasionalis Indonesia Nusa Tenggara Timur (DPW Provinsi NTT), Dextra Piterson Mayok, S.T., I.A.I., mengkritisi hasil keputusan penahanan Erik Benediktus Mella, Plt Kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam perkara terkait dugaan penganiayaan terhadap istrinya, Linda Maria Bernadine Brand, yang terjadi pada April 2013 dan menyebabkan kematian korban
“Pengadilan semestinya adil dalam kasus ini. Empat orang anak kandung Erik Benediktus Mella merupakan saksi mata kejadian terkait ibunya yang meninggal jatuh di kamar mandi. Sedangkan pengadilan menahan bapaknya otomatis anak-anak Erik Benediktus Mella akan kehilangan masa depan,” ungkap Dextra melalui siaran pers kepada media di Kupang belum lama ini.
Di sisi lain, Dextra atas nama masyarakat, meminta Pemerintah Provinsi NTT melalui Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus yang menimpa stafnya. Pemerintah sudah semestinya mendorong adanya kepastian bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan proporsional. “Kami percaya bahwa dengan perhatian dan tindakan tepat, keadilan dapat ditegakkan dan hak-hak staf dapat dilindungi,” ujar Dextra.
Sementara itu, berdasarkan penelusuran media terkait hal ini, bahwa kasus penahanan Erik Benediktus Mella, Plt Kepala Biro Umum Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), telah menimbulkan kontroversi dan perhatian publik. Erik ditahan terkait dugaan penganiayaan terhadap istrinya, Linda Maria Bernadine Brand, yang terjadi pada April 2013 dan menyebabkan kematian korban.
Peristiwa awal (2013), bahwa Linda Maria ditemukan meninggal di kamar mandi rumah mereka di Kupang. Keluarga korban melaporkan kejadian tersebut sebagai dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada kematian.
Sejak laporan itu dan setelah penyelidikan yang panjang, Erik ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2019. Namun, proses hukum mengalami penundaan karena berbagai faktor, termasuk kesulitan dalam memenuhi petunjuk jaksa terkait bukti dan saksi mata langsung.
Pada Maret 2025, setelah berkas perkara dinyatakan lengkap (P21), Erik ditahan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan. Penahanan ini dilakukan menjelang sidang perdana di Pengadilan Negeri Kupang.
Penahanan Erik memicu reaksi emosional dari keluarga, terutama anak-anaknya. Mereka menyatakan bahwa kematian Linda disebabkan oleh kecelakaan di kamar mandi, bukan karena penganiayaan.
Kuasa hukum Erik berpendapat bahwa penahanan tidak semestinya dilakukan karena kliennya kooperatif selama proses hukum dan tidak ada risiko melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Dalam perkara itu, Hakim memutuskan penahanan Erik selama 20 hari dengan pertimbangan bahwa ancaman hukuman atas dakwaan KDRT yang menyebabkan kematian mencapai 15 tahun penjara. Penahanan dianggap perlu untuk memastikan kelancaran proses persidangan dan mencegah potensi gangguan terhadap proses hukum.
Kasus ini menjadi viral karena menyoroti kompleksitas penegakan hukum dalam kasus KDRT yang berujung pada kematian, terutama ketika melibatkan pejabat publik. Proses hukum yang panjang dan reaksi emosional dari keluarga terdakwa menunjukkan perlunya pendekatan yang sensitif dan adil dalam menangani kasus serupa. (Tim)