Setelah berunding sedemikian rupa termasuk pertimbangan dari mangkubumi Bunisora Suradipati, Sang Prabu menerima lamaran Bre Majapahit, Prabu Hayam Wuruk, sekaligus menyetujui upacara jatukrami (akad nikah) diselenggarakan di keraton Majapahit.
Sedangkan Sang Mangkubumi Bunisora sangat tidak menyetujui hal itu. Karena pihak perempuan tidak layak mendatangi pihak laki-laki sebagaimana ‘tali paranti’ adat Nusantara.
Hanya, Sang Prabu Linggabuana terlalu bersikukuh bahwa Sunda akan lebih kuat dan dahsyat manakala nanti bermenantukan raja besar Prabu Hayam Wuruk.
Artinya, kepentingan adat harus disisihkan. Demikian juga dengan Prabu Hayam Wuruk – Putri Citraresmi yang masih berjiwa muda. Ia tidak ‘ngeuh’ atas beban besar patihnya sendiri Sang Mahapatih Gajah Mada yang nyata-nyata telah bersumpah amukti palapa; moal ngadahar buah palapa satungtun can bisa nalukkeun kabeh karajaan nu aya di Nusantara, tidak akan menikmati buah palapa selagi belum mampu menaklukkan kerajaan senusantara.
Banyak tafsir tentang sumpahnya ini, apa itu buah palapa?
Kalau hanya sekedar nama buah-buahan, apa sih keistimewaannya?
Menelisik kepada riwayat hidupnya, Sang Mahapatih tersebut tidak memiliki istri juga keluarga.
Kemungkinan besar dari palapa itu adalah buah kenikmatan yang hanya diperoleh dari perempuan. Seorang Gajah Mada, laki-laki perkasa berjabatan sangat tinggi di bawah singgasana raja, sangat tidak mungkin untuk tidak digandrungi para wanita cantik.