POTENSINETWORK.COM – Takwa adalah kunci keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan takwa, kita akan senantiasa terjaga dalam kebaikan dan dijauhkan dari segala keburukan. Selain itu, dalam menjalani kehidupan ini, kita diingatkan untuk selalu berusaha dengan sungguh-sungguh (ikhtiar) dan memasrahkan hasilnya kepada Allah swt (tawakal). Sebagaimana yang diajarkan dalam Islam, ikhtiar dan tawakal adalah dua hal yang harus berjalan beriringan dan berimbang. Kita diperintahkan untuk berusaha maksimal sesuai kemampuan, namun tidak lupa bahwa segala sesuatu bergantung kepada kehendak Allah SWT.
Sebagian manusia menganggap segala usaha yang dilakukan adalah faktor utama keberhasilan yang diraih, sehingga mereka melupakan proses tawakal. Sebagian lain menganggap bahwa tawakal lebih penting dari pada usaha, sehingga menurunkan tingkat kinerja. Kedua hal ini memiliki problem yang sama, yaitu tidak ada keseimbangan antara usaha dan tawakal di dalam diri manusia.
Sebagai manusia yang memiliki orientasi hidup pada dua dimensi, yaitu dunia dan akhirat, maka harus ada keselarasan antara usaha yang masuk dalam dimensi dunia dan tawakal yang masuk dalam dimensi akhirat. Ibn Rajab al-Hambali dalam Kitab Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, juz 2, halaman 497 menjelaskan definisi tawakal sebagai berikut:
صِدْقُ اعْتِمَادِ الْقَلْبِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي اسْتِجْلَابِ الْمَصَالِحِ، وَدَفْعِ الْمَضَارِّ مِنْ أُمُورِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ كُلِّهَا، وَكِلَةُ الْأُمُورِ كُلِّهَا إِلَيْهِ، وَتَحْقِيقُ الْإِيمَانِ بِأَنَّهُ لَا يُعْطِي وَلَا يَمْنَعُ وَلَا يَضُرُّ وَلَا يَنْفَعُ سِوَاهُ
Artinya: “Kesungguhan hati untuk bersandar kepada Allah dalam mendapatkan kemaslahatan dan menghindari bahaya dalam perkara dunia dan akhirat, menyerahkan segala hal kepada Allah, dan meneguhkan keyakinan bahwa tidak ada zat yang memberi, mencegah, memberi bahaya, dan memberi manfaat, kecuali Allah.”
Dari definisi ini, kita melihat faktor kepasrahan kepada Allah yang sangat kental, sehingga muncul kesalah-pahaman dalam mengimplementasikan tawakal, padahal faktor usaha tidak bisa ditinggalkan dalam mengimplementasikan tawakal di dalam diri. Hal ini juga disinggung oleh Al-Ghazali seperti yang dikutip oleh Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfat al-Ahwadzi juz 7, halaman 8 sebagai berikut:
وَقَدْ يُظَنُّ أَنَّ مَعْنَى التَّوَكُّلِ تَرْكُ الْكَسْبِ بِالْبَدَنِ وَتَرْكُ التَّدْبِيرِ بِالْقَلْبِ وَالسُّقُوطُ عَلَى الْأَرْضِ كَالْخِرْقَةِ الْمُلْقَاةِ أَوْ كَلَحْمٍ عَلَى وَضْمٍ وَهَذَا ظَنُّ الْجُهَّالِ فَإِنَّ ذَلِكَ حَرَامٌ فِي الشَّرْعِ
Artinya: “Muncul banyak prasangka bahwa tawakal bermakna tidak membutuhkan usaha secara fisik, penguatan sikap optimis dalam hati, dan turun ke lapangan untuk berusaha seperti kain yang dilemparkan dan daging yang ditaruh di wadah. Ini adalah prasangka orang-orang bodoh karena hal itu dilarang oleh agama.”
Tanpa adanya usaha yang dilakukan sebelum kepasrahan kepada Allah, maka akan muncul sikap pemalas dan berpangku tangan. Hal ini tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tapi juga merugikan lingkungan sekitarnya karena akan menjadi beban sosial. Kekhawatiran akan hal ini yang membuat Umar ibn al-Khaththab meminta Nabi agar tidak mudah menjanjikan surga kepada umatnya hanya dengan bersyahadat.
Kisah ini diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahih Muslim juz 1, halaman 59 sebagai berikut:
قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ، وَأُمِّي، أَبَعَثْتَ أَبَا هُرَيْرَةَ بِنَعْلَيْكَ، مَنْ لَقِيَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ بَشَّرَهُ بِالْجَنَّةِ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، قَالَ: فَلَا تَفْعَلْ، فَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَتَّكِلَ النَّاسُ عَلَيْهَا، فَخَلِّهِمْ يَعْمَلُونَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَخَلِّهِمْ
Artinya: “‘Umar berkata: wahai Rasulullah, dengan tebusan nama ayah dan ibuku, apakah engkau mengutus Abu Hurairah dengan perintahmu untuk menyampaikan kepada orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dengan penuh keyakinan akan masuk surga? Nabi menjawab: iya, betul. ‘Umar berkata: jangan engkau lakukan. Aku khawatir mereka akan mengandalkan hal tersebut. Biarkan mereka beramal baik dahulu. Rasulullah menjawab: baik. Biarkan mereka beramal baik dahulu.
Pentingnya usaha dalam tawakal juga tidak diartikan bahwa usaha adalah faktor utama penentu keberhasilan, padahal pengaruh ketetapan Allah terhadap keberhasilan usaha manusia sangat signifikan, bahkan menjadi pengaruh utama dalam sudut pandang hakikat. Usaha manusia dilakukan sebagai langkah dalam menjalani kehidupan dunia sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi Allah.
Hal ini juga disinggung oleh Al-Nawawi dalam Kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim juz 3, halaman 91 sebagai berikut:
الثِقَةُ بِاللهِ تَعَالَى وَالإِيْقَانُ بِأَنَّ قَضَاءَهُ نَافِذٌ وَاتِّبَاعُ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّعْي فِيمَا لَا بُدَّ مِنْهُ مِنَ الْمَطْعَمِ وَالْمَشْرَبِ وَالتَّحَرُّزِ مِنَ الْعَدُوِّ كَمَا فَعَلَهُ الْأَنْبِيَاءُ صَلَوَاتُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ
Artinya: “Kepercayaan kepada Allah bahwa setiap ketetapan Allah akan terjadi dan mengikuti perilaku Nabi Muhammad dengan melakukan usaha untuk mendapatkan makanan, minuman, dan menghadapi musuh sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi Allah.”
Tanpa adanya rasa kepasrahan kepada Allah, dikhawatirkan muncul sifat sombong dan merasa bangga terhadap kemampuan diri sendiri. Jika perilaku ini tidak segera diminimalisir atau dihilangkan, maka dapat menimbulkan kebencian Allah karena telah menafikan pengaruh dan kekuatan Allah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Thalaq, ayat 3 yang berbunyi:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: “Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah cukup sebagai tempat mengadu.”
Semoga kita dapat mengamalkan tawakal dengan baik dan penuh keseimbangan dengan usaha dan upaya yang kita lakukan, sehingga kita mendapatkan hasil yang maksimal dan keridlaan Allah swt. Amin, ya Rabb al-‘Alamin.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
*Kolomnis : Ustadz Dr. Fatihunnada, Dosen Fakultas Dirasat Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
*Sumber : https://islam.nu.or.id/khutbah/khutbah-jumat-proporsional-antara-usaha-dan-tawakal-Zif5J