Menelusuri Jejak-Jejak Nenek Moyang Orang Sunda

Demi cita-cita, demi sumpahnya ia bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya dengan mengubur hasrat beristri dan berkeluarga.

Keinginan Prabu Hayam Wuruk, yang tidak menyadari atas sumpah patihnya sungguh bertentangan. Tapi segalanya telah terjadi; lamaran telah diterima oleh pihak keraton Sunda.

Untuk menjadi jalan tengahnya; upacara pernikahan berlangsung dan tidak melanggar sumpah amukti palapa, maka tidak boleh tidak Sang Putri Citraresmi harus diposisikan sebagai ‘upeti’ (putri taklukan).

Hingga akhirnya hari H pun terjadi, para utusan Keraton Sunda berkonvoy menuju Tro Wulan ibukota Majapahit.

Baca Juga:  Mengenal Mushaf Al-Qur’an Isyarat, Legacy Kemenag untuk Disabilitas

Berjalan dari Kawali, berlabuh di Mertasinga (Singapura) Cirebon, lalu meluncur ke Jawa Timur.

Kecuali Prabu Linggabuana, permaisuri serta Putri Citraresmi, para pengiringnya adalah para petinggi kerajaan; para perwira, bayangkara, para balamati (paskhus raja), para juru rias, semuanya kira-kira berjumlah 98 orang. Yang tidak diijinkan ikut ke Majapahit adalah putra bungsu bernama Niskala Wastu Kancana yang baru berumur 9 tahun.(Bersambung)***