(Catata terjemahan Yosep Iskandar)
Bagian Ke XXIV
Penerus Tahta Sunda
SANG Maharaja Tarusbawa memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Sunda dari tahun 669 Masehi sampai tahun 723 Masehi, kemudian diwariskan kepada menantu-cucunya, Sang Sanjaya (723 M – 732 M) lalu penguasa yang meneruskan Sang Sanjaya sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah Sang Prabu Tamperan Barmawijaya (732 M – 739 M) diteruskan kemudian oleh Sang Banga (739 M – 776 M).
Dari perkawinannya dengan Kancana Sari, Sang Banga mempunyai seorang anak laki-laki bernama Rakeyan Medang.
Nama kenangan ketika Sang Banga berguru di Bumi Medang Mataram kerajaan bebuyutnya. Yang ketika itu dikuasai oleh Rakeyan Panangkaran, anak Sang Sanjaya dari Putri Sudiwara. Rakeyan Medang berguru ilmu kenegaraan di sana selama 8 tahun untuk kemudian menjadi mentri muda di kerajaan Sunda, selama 3 tahun.
Sedangkan Sang Banga menduduki pucuk kekuasaan kerajaan Sunda sampai tahun 776 Masehi, untuk kemudian diteruskan oleh Sang Rakeyan Medang dengan gelar abhiseka Sang Hulukujang dan berputra perempuan bernama Dewi Samatha yang kemudian dinikahi oleh Rakeyan Hujungkulon atau Prabu Gilingwesi yang menggantikan kedudukan mertuanya.
Sedangkan adik dari Rakeyan Hujungkulon yaitu Sang Tariwulan menggantikan ayahnya menjadi penguasa kerajaan Galuh bergelar Prabu Kretayasa Dewakusaleswara, ia menikahi Dewi Saraswati putri dari penguasa Saunggalah, keturunan Praburesi Demunawan.
Dengan demikian dua kerajaan Sunda – Galuh dipegang oleh dua cucu Sang Manarah.
Masa itu, pesisir utara pulau Jawa sering diganggu oleh para bajak laut dari pulau Sumatra pimpinan Sang Surageni dan Jalageni.
Tepat di tahun 779 M, Prabu Gilingwesi dari Kerajaan Sunda mengerahkan 1500 prajuritnya di bawah hulujurit (panglima perang) Sang Lebur Raga untuk menumpas bajak laut hingga terbantai tak menyisakan seonggok nyawapun, termasuk Surageni dan Jalageni.
Dari permaisuri Dewi Samatha, Prabu Giliwesi mempunyai anak perempuan bernama Dewi Arista yang di kemudian hari dinikahi oleh Rakeyan Diwus yang juga menggantikan kedudukan Prabu Giliwesi setelah kemangjatannya pada tahun 819 M dengan gelar abhiseka Prabu Gajah Kulon.
Prabu Gajah Kulon berpermaisurikan Dewi Kirana adik dari Prabu Linggabumi, raja Kerajaan Galuh yang juga kedudukannya digantikan oleh Prabu Gajah Kulon oleh karena Prabu Linggabumi tidak mempunyai keturunan.
Dengan demikian dua kerajaan Sunda-Galuh berada di tangan Prabu Gajah Kulon, keturunan dari Sang Banga. Dari Dewi Kirana, terlahir dua putra-putri; Batara Danghiyang Guruwisuda dan Dewi Sawitri.
Tahun 852 M, Danghiyang Guruwisuda diberi kepercayaan untuk menjadi penguasa di Kerajaan Galuh sedangkan Dewi Sawitri dinikahi oleh Rakeyan Windusakti, putra dari Sang Arya Kedaton yang telah menikah dengan Dewi Widyasari, adik dari Prabu Gajah Kulon. Setelah Prabu Gajah Kulon mangkat, maka kerajaan Sunda-Galuh direbut dan dikuasai oleh Arya Kedaton, bergelar Prabu Darmaraksa Salakabuwana.
Baru empat tahun menduduki pucuk kekuasaan, Prabu Arya Kedaton tewas di tangan seorang mentri kerajaan Sunda. Posisinya kemudian digantikan oleh putranya yaitu Rakeyan Windusakti bergelar Prabu Dewageung Jayeng Buwana, pada tahun 895 M.
Dari permaisuri Dewi Sawitri, Prabu Dewageung mempunyai dua putra; Rakeyan Kamuning Gading dan Rakeyan Jayagiri. Prabu Dewageung mangkat pada tahun 913 M digantikan oleh Rakeyan Kamuning Gading bergelar Prabu Pucukwesi yang hanya tiga tahun memegang tampuk kekuasaan, oleh karena direbut paksa oleh adiknya yaitu Rakeyan Jayagiri pada tahun 916 M bergelar Prabu Wanayasa Jayabuwana.
Di pihak lainnya, ketika kudeta Sunda-Galuh terjadi, Kerajaan Galuh telah diwariskan kepada Rakeyan Jayadrata, cucu dari Batara Danghiyang Guruwisuda dari Putri Dewi Sundara.
Pasukan Kerajaan Sunda yang telah diposisikan di Galuh diperintahkan untuk merebut keraton Galuh.
Hanya, pasukan kerajaan Sunda kalah oleh keperkasaan pasukan Galuh pimpinan Rakeyan Jayadrata.***
(Bersambung)